Jejak KataLiputan

390 Tahun Kabupaten Tangerang dan Dua Sejarah yang Tidak Boleh Dilupakan

×

390 Tahun Kabupaten Tangerang dan Dua Sejarah yang Tidak Boleh Dilupakan

Sebarkan artikel ini
FOTO: Beberapa orang prajurit tentara di Tangerang tempo dulu (Istimewa)

JEJAK KATA, Tangerang – Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 02 Tahun 2020 tertanggal 02 Januari 2020, mulai tahun 2020 HUT Kabupaten Tangerang diperingati setiap pada tanggal 13 Oktober.

Diperingatinya HUT Kabupaten Tangerang pada 13 Oktober ini mengacu pada sejarah Agresi Militer Belanda pada pertengahan abad ke-16 di wilayah Banten.

Sumber pribumi berupa Paririmbon Ke-Aria-an Parahijang menyebutkan, pada Rebo Pon ba’da Mulud 1042 atau 13 Oktober 1632 masehi, Sultan Banten memberikan perintah kepada Tiga Maulana, yaitu Raden Aria Maulana Yudha Negara, Raden Aria Jayasentika dan Raden Aria Wangsakara untuk membuka perkampungan baru di wilayah antara Cisadane dan Cidurian. Wilayah tersebut belakangan dikenal sebagai wilayah Lengkong Sumedang. Wilayah Lengkong Sumendang di bawah pimpinan Aria Wangsakara. Ini berkembang pesat dan memiliki struktur pemerintah sendiri. Kelak, wilayah Lengkong Sumedang ini dikenal sebagai wilayah Keariaan Tanggerang. Lama kelamaan, Keariaan Tanggeran berubah lafal menjadi Tangerang.

Implementasi Comander Wish Kapolda Banten Guyub TNI Polri di Panongan

Berdasarkan fakta ini, Pemkab Tangerang menerbitkan Perda Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Hari Jadi Kabupaten Tangerang, dan menetapkan Hari Jadi Kabupaten Tangerang jatuh pada 13 Oktober, bertepatan saat Sultan Banten memberikan perintah kepada tiga bangsawan untuk membuka wilayah baru tersebut.

Namun ada sejarah penting yang juga tidak boleh dilupakan, yaitu tentang sejarah Kabupaten Tangerang yang muncul pada awal masa pendudukan Jepang, atau peralihan dari Hindia Belanda ke Jepang.

Pernyataan Kontras di Hari Antihukuman Mati Internasional

Panglima Tentara Jepang kala itu, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, diserahi tugas untuk mem­bentuk pemerintahan militer di Jawa, yang kemudian diangkat sebagai gunseibu. Seiring dengan hal itu, pada bulan Agustus 1942 dikeluarkan Undang Undang Nomor 27 dan 28 yang mengakhiri keberadaan gunseibu.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *