ADALAH dia, perempuan berwajah ala gadis setengah Uzbekistan yang gemar begadang minum-minuman bercafein, meski kadang mengeluh asam lambungnya naik. Dia pula perempuan yang dalam beberapa hari ini mengisi selarik kisah dengan pria yang dikabarkan bekas pecatan tentara, padahal bukan sama sekali.
Entah apa yang membuat pria ini kerap disebut-sebut sebagai pecatan tentara. Padahal, baris-berbarispun sepertinya Ia tidak pecus. Mungkin karena kalimat “Siap Kumendan” yang kerap kali dilontarkan, atau memang ini caranya berkomunikasi sebagai respon bahwa ia menghargai lawan bicaranya.
Namun apa pun itu, setidaknya Ia sudah mewakili sebagian rakyat di republik ini yang gagal dalam meraih cita-citanya menjadi seorang prajurit Babinsa. Bahwa, menjadi apa pun itu bukanlah sebuah cita-cita yang membanggakan jika pada akhirnya hanya akan menyiksa, apalagi sampai menjadi senjata yang menciderai tuannya.
*
Malam setelah peringatan Supersemar, cerita ini dimulai. Segelas teh hangat dan Butter Caramel berpadu dengan Iced Latte McCafe telah mempertemukan perempuan yang diimajinasikan sebagai Ilmira Usmanova, gadis Uzbekistan yang dikabarkan dipinang oleh Tengku Zaky beberapa waktu silam.
Berbeda jauh memang, segelas teh hangat dengan Butter Caramel berpadu dengan Iced Latte McCafe. Tapi, memang begitulah. Panas dengan dingin terkadang kerap kali saling mengisi, namun bisa jadi keduanya sulit untuk dipadukan. Karena, memang, persoalan rasa akan ditentukan oleh bagaimana situasi.
Tak pernah ada kalimat yang istimewa dilontarkan dari keduanya setelah malam itu. Namun perasaan berkembang begitu hebat pada hari-hari berikutnya. Kalimat-demi kalimat tanpa makna dan enggak begitu penting yang saling mereka kabarkan lewat aplikasi ciptaan orang pintar kelahiran Ukraina, Jan Koum bersama Brian Acton itu lah, yang justru telah meracik perasaan dua makhluk lain jenis yang tiba-tiba merasa mereka adalah pasangan itu.
Citra, cinta tanpa rayuan. Ya, cinta tanpa rayuan, semua mengalir begitu saja. Dan, ini sebagai bukti bahwa kata tidak selalu menjadi pemecah persoalan. Namun rasa dan situasi lah yang bisa menyimpulkan bahwa; dunia ini memang begitu indah; dunia ini memang brengsek; dan, aku benci dengan dunia.
**
Malapetaka itu bisa saja terjadi, pecah kapan pun oleh situasi yang merasuk ke dalam rasa. Dan, itu nyaris terjadi.
Ketika senja mulai menggerayangi seisi jagat, kabut mulai mengurung dan lampu-lampu jalan mulai menyapa seisi kota sribu pabrik.
“Akan kemana kita, Mas?” Tanya gadis blasteran imitasi yang diimajinasikan sebagai Ilmira Usmanova.
“Banyak tempat untuk berdiskusi di sana nanti,” jawab pria yang sudah kadung mabuk kepayang dengan gadis yang pernah Ia idam-idamkan sejak beberapa puluh tahun silam itu.
Memang, sejak dirinya patah hati dengan buruh pabrik yang dinikahi lalu ditinggalkan dalam beberapa tahun, setelah itu kandas dengan perawat rumah sakit itu, Ia selalu bermimpi untuk tidak akan menikahi perempuan pribumi; Jawa apalagi berdarah Ngapak, Sunda atau keturunan Sumatera yang banyak berseliweran di sekitarnya.
Ya, perempaun Uzbekistan. Atau, paling tidak bisa seperti kisah Nur Khamid yang menikahi Polly Alexandria Roninson, bule Inggris yang cantiknya bukan kepalang. Keduanya saling mengisi tanpa melihat warna kulit serta wajahnya yang jauh berbeda. Namun mereka saling mengisi, mengasih serta saling membanggakan satu sama lain. Hingga, nyaris tidak ditemukan perbedaan diantara keduanya.
Sepanjang perjalanan di bibir senja, tidak ada kalimat yang seromantis kisah film Garis Waktu yang diadaptasi dari novel karya Fiersa Besari atau kisah Galih dan Ratna, atau seperti kalimat rayuan Dilan “Jangan rindu, berat. Kamu enggak akan kuat, biar aku saja”.
Kata “Aku cinta kamu atau aku sayang kamu” pun tidak ada dalam kisah cinta tanpa rayuan dua belas malam gadis blasteran imitasi itu. Namun perasaan keduanya mengalahkan seribu, atau sejuta kata cinta.
Atau, memang sinonim adagium, pepatah tua itu begitu sakral. Ya, kalimat yang pertama kali ditemukan dalam bahasa Inggris The Merchant’s Tale karya Geoffrey Chaucer : “For loue is blynd alday and may nat see.” Yang kemudian dipopulerkan oleh William Shakespeare dalam dramanya Henry V, Two Gentlemen of Verona, dan The Merchant Of Venice. Meskipun pengamatan bahwa cinta itu buta jauh lebih tua, dan dapat ditemukan dalam tulisan Plato: “Karena sang pecinta buta dalam pandangannya terhadap objek yang dicintai”. Itu terbukti.
***
Malam itu, secangkir Expreso hangat dan Iced Americano mempertemukan gadis yang diimajinasikan sebagai Ilmira Usmanova, gadis Uzbekistan yang dikabarkan dipinang oleh Tengku Zaky beberapa waktu silam.
Remang tembang “Kemesraan” Iwan Fals samar diantara bokong kenalpon kendaraan yang sesekali berseliweran di bibir kota satelit Metropolitan. Bibir gadis belasteran imitasi itu tiba-tiba menjadi kelu. Entah, apa yang terjadi, pula air matanya merembas, meleleh ke permukaan pipinya yang ranum.
“Mas, aku bisa apa aja, dan enggak perlu ada yang dikhawatirkan,” kata itu dengan wajah yang kosong.
Laki-laki itu terdiam tak banyak berkata-kata.
“Puas sudah kamu membuat derita ini semakin mendera. Laki-laki tak berperasaan! Biadab kamu! Sontoloyo! Brengsek!” Dalam hati gadis itu tak berani mengumpat.
Diam malam itu, menjadi pecah. Tapi, memang sinonim adagium, pepatah tua itu begitu sakral. Ya, kalimat yang pertama kali ditemukan dalam bahasa Inggris The Merchant’s Tale karya Geoffrey Chaucer : “For loue is blynd alday and may nat see.” Yang kemudian dipopulerkan oleh William Shakespeare dalam dramanya Henry V, Two Gentlemen of Verona, dan The Merchant Of Venice. Meskipun pengamatan bahwa cinta itu buta jauh lebih tua, dan dapat ditemukan dalam tulisan Plato: “Karena sang pecinta buta dalam pandangannya terhadap objek yang dicintai”.
“Dek, Kejahatan adalah nafsu yang terdidik. Kepandaian, seringkali, adalah kelicikan yang menyamar. Adapun kejujuran kerap kali dianggap sebagai kebodohan, lantaran ini acapkali menjadi kebaikan yang bernasib buruk. Kelalaian adalah itikad baik yang terlalu polos. Dan, ketahuilah kelemahan adalah kemuliaan hati yang berlebihan,” laki-laki itu menutup kalimatnya.
“Jika cinta itu masih ada, tetap lah berharap, dan biarkan Tuhan memainkan takdirnya!”
Widi Hatmoko
Seniman & Jurnalis
Penulis buku “Perempuan Nocturnal” karyanya juga masuk dalam antologi Cerpen “Membaca Kata Lewat Kota” serta kumpulan puisi “Senandung Wareng di Ujung Benteng”