Ciblek, demikianlah orang-orang seisi kampung menyebut nama perempuan yang hampir satu tahun ditinggal mati oleh Sasmito. Banyak orang yang menerka-nerka, kematian suaminya itu karena disantet seseorang. Ada lagi yang menyimpulkan karena ngenes, lantaran ditinggal selingkuh. Namun, berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh mantri Puskemas. Menurut keterangan dan diagnosa yang diperoleh dari dokter rumah sakit, kata mantri Puskesmas, laki-laki ini terkena penyakit komplikasi; yaitu jantung, darah tinggi dan hipoglikemia (gula darah rendah). Maklum saja, namanya juga orang kampung—segala sesuatu seringkali dihubungkan dengan mistik. Begitu pula dengan berita yang beredar, janda cantik ini dituding mempunyai ilmu pelet—pengasihan Aji Jolosutero.
CIBLEK, memang bukanlah nama yang sebenarnya. Pun demikian, kata Ciblek, bukanlah permasalahan bagi dirinya. Toh, dari nama itu bisa menghasilkan uang. Sejak itu pula, nama Retno Sri Wigati menjadi tidak terlalu penting dan nyaris tak pernah terdengar—yang ada hanya Ciblek..Ciblek..dan Ciblek..
*
Dari dalam rumah, Kempus keluar menyanyikan lagu dangdut campursari;
Abang biru lampune disko
Awak kuru Mas, mikir bojo loro
Bojo sing enom njaluk disayang
Sing tuwo ‘njur wegah ditinggal
Meskipun cempreng bak kaleng rombeng, tetap saja pe-de, bernyanyi dan terus bernyanyi. Hatinya riang seriang-riangnya. Semua itu bukan tanpa sebab. Resepsi pernikahan anak petinggi lurah yang akan menanggap biduan campursari dengan iringan musik orgen tunggal, dan akan menghadirkan Ciblek untuk bernyanyi serta berlenggak-lenggok di malam itulah yang menjadi biang ke-girangannya.
Dengan telpon genggam bekas model jadul berbentuk pisang yang dibeli dari counter pojok bekas alun-alun sebelah barat kecamatan, serta dua belas digit nomer ponsel yang didapat dari operator musik orgen tunggal, dirinya langsung menghubungi Ciblek. Pesan singkat lewat Short Message Service (SMS) ke nomer itu pun, melesat dengan cepat.
”Ciblek, Ai lop Yu.” Demikianlah isi SMS-nya. Maklum saja, tak bisa menulis dengan Bahasa Inggris yang pas dan benar—hanya mendengar kalimat yang sering kali diucapkan oleh orang-orang, lalu dituliskan dengan kalimat yang sama.
Walau Ciblek tak membalas, tetap saja ia nekat kirim SMS. Terus, dan terus. Meskipun pula tak digubrisnya lagi, tetap juga berkirim SMS, sampai pulsanya habis, tinggal nol rupiah. Dalam SMS-nya itu, ia juga berjanji akan menyawer dan mangajak Ciblek berjoget di arena pesta pernikahan anak petinggi lurah.
Pikiranya melayang-layang, membayangkan janda cantik bertubuh sintal itu berjoget, bergoyang dan bergoyang di atas panggung. Dalam hayalannya, malam itu ia menjadi orang yang paling beken serta gembira. Tergembira malah—bisa ngibing dengan Ciblek.
*
Beberapa hari kemudian;
Sirah mumet ora bisa turu
Andum trisno Mas, ugo andum waktu
Mikir butuhe, mikir blanjane
Njur saiki bingung atine
Lewat speacer, suara lagu dangdut campursari koplo itu terdengar sudah di penjuru kampung. Bukan irama musik campursari orgen tunggal, melainkan dari kepingan VCD bajakan yang sengaja digeber sampai ke tempat paling pelosok, sebagai tanda pesta pernikahan anak petinggi lurah sudah dimulai.
Pun demikian, meskipun VCD bajakan itu begitu semarak, bukan berarti biduan campursari orgen tunggal yang menampilkan Ciblek tak jadi dimainkan. Karena, hiburan ini akan dimulai selepas Isak. Sengaja ditabuh menjelang tengah malam, agar para perewang tak terkantuk-kantuk, dan supaya pula masyarakat yang menonton ikut menemani begadang keluarga petinggi lurah, sampai pagi.
Malam masih muda. Rembulan pucat tertutup awan. Lampu neon dan patromak dari para tukang jualan sudah membuat sekitar rumah petinggi lurah menjadi semarak. Suasana berubah menjadi setengah kota. Ramai, riuh oleh tukang jajanan dan sieisi kampung yang berseliweran.
*
Telung dino mulih rono
Telung dino bali neng kene
Sing sedino kanggu sopo
Sing sedino kanggo wing liyo
Kali ini, lagu itu tak lagi suara VCD bajakan atau mulut Kempus yang membayangkan lekuk tubuh Ciblek melenggok di atas panggung. Seorang biduan menyanyikan lagu ini dengan suara yang melengking.
Satu, dua, dan beberapa orang di antara penonton yang menunggu hiburan rakyat ini, manggut-manggut, menirukan dengan suara cemplang, tak pas nadanya.
Sementara, dari jauh Kempus melangkah setengah berlari. Dengan segepok uang kertas ribuan, langkahnya begitu ‘sat-set’.
Di balik bajunya, sekuntum bunga mawar yang dipetik di pinggir jalanan kampung sore sebelum berangkat ke arena pesta. Dandanannya nyentrik; sisir di saku belakang; sepatu hitam mengkilat; serta rambut kinclong oleh minyak rambut merk orang-aring.
Maklum saja, namanya juga orang kampung, jadi cara berbusananya pun kurang bisa mengikuti tren mode yang uptudate. Bajunya juga hanya dibeli di loakan. Benangnya masih ngelewer kesana kemari. Namun demikian, tetap saja pe’de.
Langkahnya semakin dipercepat. Ia mengira Ciblek sudah bernyanyi dan bergoyang di atas panggung. Sayang, setelah ia sampai di TKP, ternyata biduan lain yang beryanyi. Sungguh, perempuan itu telah membuatnya mabuk kepayang, termehek-mehek.
Kempus semakin tidak sabar—gelisah—mondar-mandir di antara tukang martabak, tukang cilok, tukang batagor, tukang balon, tukang baso, dan sesekali mengitari tukang judi koprok di belakang rumah tak jauh dari arena pesta. Ia juga juga masih sok aksi, bergaya mengutak-atik HP yang pulsanya tinggal nol rupiah. Gaya banget!
*
Abang biru lampune disko
Awak kuru Mas, mikir bojo loro
Bojo sing enom njaluk disayang
Sing tuwo ‘njur wegah ditinggal
Panggung menjadi tambah semarak. Beberapa orang biduan dengan busana yang serba mencolok—merah, kuning, dan hijau, menjadi meriah. Terlebih ketika Ciblek tampil memadati panggung. Dadandannya menor—lengkap dengan busana panggung; bedak Kelly yang kinclong, serta aroma minyak wangi lokal bermerk impor, semakin membuat Kempus tergila-gila.
Ia bergegas mendekati panggung.
”Ciblek, teruslah kau berjoget, goyangkanlah bokongmu untuk menghilangkan kantukku!” Mulut seorang penonton yang tak sanggup naik ke panggung membayar saweran.
”Iya Ciblek, menarilah menghibur kami semalaman!” Imbuh laki-laki lain yang tak kalah bokeknya.
Seorang kakek bola matanya nyaris loncat keluar melihat bokong Ciblek berputar semakin hebat. Rembulan yang pucat pun bagai ikut bergoyang. Biduan dengan baju panggung dan bokong bergoyang serta dada membusung yang mendebarkan itu membuat malam menjadi heboh. Tubuhnya meliuk-liuk bagai ekor layangan hias yang menari-nari di atas langit.
Panggung di arena pesta pernikahan anak petinggi lurah malam itu menjadi semakin membara. Lampu dop yang dimodifikasi seperti lampu disko berpijar, berputar di antara tubuh yang penuh gairah. Hentak kendang mengiring irama orgen tunggal semakin menggugah kebinalan.
Sementara, beberapa istri mengawasi suami-suaminya yang ngiler ingin berjoget; sambil membopong anak-anaknya yang sudah terkantuk memegang balon gas mainan yang hampir lepas, matanya awas, mengawasi.
Hanya isteri Kempus yang tak nampak batang hidungnya. Perempuan itu sudah seperti disirep, terlelap dalam selimut kabut selepas magrib, sebelum suaminya berangkat di arena pesta.
”Untung kita bisa mengawasi suami-suami kita. Coba kalau tidak! Lihat goyangnya, brengsek!”
”Iya menggoda sekali.”
”Lihat lagi tuh, pamer! Mentang-mentang payudaranya montok!”
”Kalau cuma begitu, payudaraku lebih besar dari dia!”
”Mbakyu, awas! Waspadai suami-suami kita, jangan sampai kepelat!”
”Iya, jangan sampai kepelet aji jolosutero!”
”Betul mbakyu.”
”Huh!”
Dengan nafas yang tersengal, Kempus sudah berdiri di bibir panggung. Ia sudah kebelet naik ke atas panggung untuk bergoyang. Penuh percaya diri pula, sebisanya ia melompat ke atas panggung. Perlahan namun pe’de, ia mulai beraksi. Kempus semakin lupa daratan; lupa anak, lupa isteri, lupa mertua, lupa semua permasalahan hidup, termasuk hutang.
Arena panggung pesta pernikahan anak petinggi lurah semakin berkobar hebat. Kempus menghambur-hamburkan lembaran uang kertas ribuan. Satu, dua, tiga lembar terus dan terus, sampai payudara Ciblek membusung oleh lembaran-lembaran uang kertas itu.
Sebenarnya dirinya sangat menyadari, bahwa perbuatannya itu hanya akan membuahkan malapetaka. Tetapi bukanlah Kempus jika tak bisa mengatasi hal-hal semacam ini. Baginya, kejujuran adalah kebaikan yang bernasip buruk. Itulah sebab, mengelabuhi isterinya dengan berbagai cerita gombal tentang hubungannya dengan Ciblek, dikemas dengan strategi akal bulusnya. Ia menjadi laki-laki ter-goroh se-goroh-goroh-nya.
”Ciblek, kau lihat saja, semua yang aku lakukan ini hanya sepenuhnya untukmu. Aku sudah terlanjur mencintaimu, Ciblek.” Begitulah mulut Kempus merayu.
”Ah, gombal kamu,” tampik Ciblek.
”Gombal?” Timpal Kempus dengan muka mengkerut.
”Iya, gombal dan goroh!”
”Tidak Ciblek! Aku tidak gombal, apalagi goroh! Sungguh, aku sudah terlanjur mencintaimu. Kau lihat saja, aku royal kan? Semua ini hanya untukmu, Ciblek,” katanya sambil terus menghamburkan lembaran uang kertas ke perempuan itu.
”Bagaimana Ciblek, kau percaya kepadaku?”
”Bagaimana dengan isteri, mertua serta anakmu jika ia tiba-tiba datang dan melihatmu di panggung?” Tanya biduan itu sambil membenahi bungkusan yang membusung di dadanya.
”Jangan kau bahas Ciblek, percayalah, isteri dan anak-anakku tak bakal melihat kita. Mereka sudah ngorok sejak sebelum aku berangkat menghampirimu di panggung ini, dan mertuaku sedang pergi ke tempat anaknya yang jadi babu di kota. Ayolah Ciblek, kita bersenang-senang, lupakan semuanya!”
Ciblek pun hanyut ke dalam rayuan Kempus. Bergoyang dan bergoyang tanpa membayangkan isteri, anak dan mertua laki-laki itu bakal datang melabrak.
Kempus lupa, bunga mawar yang dipetik sebelum berangkat ke panggung arena pesta anak petinggi lurah masih tetap terselip di balik kemejanya. Niat untuk membuat kejutan, kandas. Ia sudah terlanjur girang oleh sikap Ciblek yang agresif. Bunga mawar itu rontok di balik baju—menjadi tak berarti—tergesek gerak tubuhnya yang berjoget-joget merayu Ciblek.
Malam semakin merayap. Hawa dingin mulai merasuk kepersendian. Irama musik campursari orgen tunggal semakin membuat Kempus lupa daratan. Melayang-layang seperti di awang-awang. Biduan nan montok dan cantik itu seperti menjelma menjadi bara api. Ya, bara api yang muncul bersama abu vulkanik; membakar jiwanya.
Lihat saja wajah dan matanya, membara hingga di atas rata-rata. Bergoyang dan bergoyang bagaikan tak ada persoalan dalam hidupnya—yang ada hanya senang, berjoget dan bergoyang-goyang dengan Ciblek.
Sampai teriakan wareng menjemput pagi, semburat jingga menggerayangi siang, dan perlahan menelanjangi seisi jagat; sampai panggung di arena pesta itu hilang entah ke mana; dan sampai malam kembali menghampiri—pikiran Kempus masih terus menari, bergoyang dan bergoyang bersama Ciblek di arena panggung pesta anak petinggi lurah.
Kempus kerasukan Ciblek sampai tak sadarkan diri. Anak, isteri, bahkan mertua, seolah lenyap dari kehidupannya; yang ada hanya Ciblek, Ciblek dan Ciblek—meliyuk-liyuk dengan bokong bergoyang seperti ekor layangan di atas langit.
Kempus semakin menjadi-jadi. Sampai seminggu berikutnya, sebulan bahkan setahun, ia semakin mabuk kepayang terhadap biduan itu.
Tak satupun mampu menawarkannya. Satu, dua, tiga, bahkan hampir puluhan dukun kampung tak mampu meredam goncangan jiwanya oleh goyangan Ciblek yang dikabarkan sudah dirasuki Aji Jolosutero itu. Sampai seorang yang lebih ampuh dari dukun sebelumnya dan mempunyai aji-aji mahluk jengglot yang menyerupai kepala codot dan disambungkan dengan tubuh seekor kodok bangkong serta disisipi ekor-ekor kuda pun tak mampu membuat Kempus sembuh dari Ciblek, biduang cantik itu. (***
Mengutip lagu campursari “BOJO LORO” yang pernah dinyanyikan Inul Daratista.
Cerpen ini pernah terbit dalam buku Antologi Tunggal Cerpen “Perempuan Nocturnal” Widi Hatmoko 2016.