“Ternyata, ribet! Gue enggak mau bertele-tele! Udah, maunya apa!?” Ujar perempuan yang disebut-sebut sebagai Zakiah Ekaputri itu dengan wajah muram sebelum sempat menyeruput segelas kopi yang baru saja diantar Waiter ke meja berukuran segi empat cafe tempat pertemuannya dengan Didid. Ya, Didid, pria yang dikenalnya lewat akun media sosial Telegram malam setelah peringatan Supersemar di kompleks perumahan sebelah itu.
Terang saja, kalimat ini membuat perasaan Didid yang sedang berpikir akan membawa kemana arah alur cerita malam tersebut, setengah mendidih.
“Eh, Elu kan yang minta kita ketemuan! Tapi kenapa pas gue mauin malah Elu nyerong sama temen Elu yang perempuan itu! Elu malah mau nongkrong ama dia. Gue, Elu anggep apaan? Elu itu pacarannya ama gue apa ama temen perempuan Elu?!” Timpal Didid dengan nada tinggi mencoba menegaskan apa yang ada dalam pikirannya.
Merasa tak baik-baik saja dengan sikap Didid, Zakiah pun minta untuk pulang.
“Anter Gue pulang!”
Tidak ada pilihan lain, dari pada perang di ruang terbuka, Didid menurutinya. Dua insan berbeda usia yang sebelumnya dimabuk cinta itu pun bergegas meninggalkan meja cafe dengan dua gelas kopi yang belum sempat disentuh.
Mereka bergegas ke arah parkiran dan masuk ke dalam sedan hitam yang selalu mengantarkan keduanya menghabiskan malam, sekadar makan atau sesekali singgah di kamar apartemen dan hotel di sudut-sudut kota itu.
Sepanjang perjalanan, teriak kencang perempuan Zakiah pecah di dalam sedan hitam kusam. Sengaja, Didid tidak langsung membawa Zakiah pulang, namun melaju berputar ke jalan-jalan sekitar kompleks perumahan yang terlihat sepi. Bukan tanpa sebab, Dia berfirasat bakal ada ‘gonjang-ganjing’ hebat. Dan, malam ini harus selesai.
“Lanjut, atau cukup!”
Malam ini menjadi puncak dari segala puncak perasaan yang mendera.
Segala umpatan, keluar dari mulut keduanya. Saling tidak mau mengerti. Semua bertahan dengan apa yang ada dalam pikirannya. Rasa keras kepala Didid dan Zakiah, tidak membawa keduanya dalam suasana seperti satu malam sebelumnya.
Kisah cinta tanpa rayuan dua insan yang telah bersepakat tanpa kesepakatan memadu kasih bagaikan kilat itu, “Jegleeer!” Disambar halilintar. Porakporandakan hati keduanya.
*
“Sudah kubilang, Kamu itu pria berumur, beristeri pula. Kalau mau main serong jangan sama bocah bau kencur. Habis energimu ngeladeninya!” Kata Resmana sambil berkelakar.
“Bukan soal bocah bau kencur atau bau tanah, tapi ini soal perasaan, tidak bisa ditawar, brother. Dia suka, Aku juga cinta! Cinta, brother!” Timpal Didid.
“Kalian sudah setengah gila! Perempuannya juga bego, pria tua bangka dicinta,” Sanggah Resmana sambil tertawa lebar.
“Dan, Kamu yang repot kan? Gesekan sedikit baper! Nanti ada persoalan-persoalan kecil yang enggak nyambung, mewek lagi. Cara berpikir kalian itu beda, bro! Dan, itu bakal lebih parah dari bocah bau kencur yang lagi dimabuk cinta. Wes, temuin saja! Ambil handphone-nya, blokir nomormu di ponselnya, blokir nomor dia, blokir semua akun media sosialnya, kelar semua!” Sambung Resmana.
Tanpa pikir panjang, Didid melesat melarung perempuan pujaan hati yang sempat membuatnya mabuk kepayang itu. Ya, saran Resmana dianggap sebagai cara paling mujarap untuk bisa menghilangkan perasaan dengan Zakiah. Bayangkan saja, ketika dua malam sebelumnya mereka bertengkar, lalu ingin saling melapaskan, rasa itu berat. Berat, seberat-beratnya.
Didid belum siap meninggalkan perempuan itu. Begitu pun Zakiah, keduanya sama-sama masih memiliki rasa cinta. Akhirnya, mereka bersepakat untuk berdamai dengan keadaan, melupakan pertengkaran hebat malam itu.
“Dimulai dari nol, ya?” Kata Didid kepada Zakiah sambil menghapus kalimat-kalimat yang sebelumnya membuat keduanya dalam suasana panas pada chat akun WhatsApp-nya.
Namun malam ini, tiba-tiba suasana menjadi tidak jelas. Ruwet, ya ruwet seruwet-ruwetnya. Didid dan Zakiah berantem hebat lagi.
Malam ini Didid benar-benar sudah naik pitam. Teman perempuan Zakiah telah membuatnya cemburu buta. Bukan tanpa sebab, perempuan pujaannya itu memang perempuan berotot, kekar pula. Gemar begadang.
Kegemaran Zakiah nongkrong dengan teman-temannya sampai larut malam, bahkan sampai menjelang subuh, telah menimbulkan kecurigaan kalau dirinya hanyalah sebagai pelarian, dan pelengkap saja. Belum lagi kalau Didid mendengar cerita Zakiah kerap staycation dengan teman-teman perempuannya, ini membuat telinganya semakin panas. Terlebih-lebih, malam ini Zakiah meng-cencel niatnya untuk bertemu Didid. Zakiah lebih ingin nongkrong bareng dengan teman perempuannya itu.
Ya, sudah, tidak ada pilihan selain harus mengakhiri cerita cinta tanpa rayuan yang telah menghanyutkan keduanya tersesat dalam kenikmatan dunia tersebut.
Apalagi ketika Zakiah enggan memberikan pilihan, apakah malam ini akan tetap jalan bareng dengan teman perempuannya, atau mengurungkan untuk tidak kemana pun dengan siapa pun, atau akan berdamai dengan perasaan bersama Didid seperti satu malam sebelumnya.
Jawaban itu, tidak ada dari mulut Zakiah. Sampai malam semakin larut, sampai kabut hitam terus mengurung seisi jagat, hingga semburat jingga menggerayangi seisi bumi, dan terik matahari memayungi kota ini, jawaban itu tidak pernah ada. Dua insan ini tetap dalam pendiriannya, sampai rasa kecewa yang mengaduk-aduk perasaannya hilang disapu waktu, sampai keduanya semakin hilang entah kemana.
Tapi, itulah kehidupan. Ada kalanya kita mengalah untuk berdamai dengan keadaan. Namun ada kalanya pula bersikap tegas, agar kita tidak diombang-ambingkan oleh keadaan. Apalagi soal rasa; di zaman know, begitu mudah menyatukan dua tubuh berlainan jenis dalam kubangan dunia. Tanpa harus ada cinta, tak perlu menjalin asmara. Elu suke gue suke, kite bise! Namun, menyatukan dua hati untuk bisa saling mengerti, itu ternyata sulit bestie!
Oleh: Widi Hatmoko
Catatan: Cerita ini fiksi, kalau ada kesamaan nama atau peristiwa, ini hanya kebetulan saja.