ADALAH Desa Mekar Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Lampung Tengah. Sebelum pemekarkan, dan secara otonomi penjadi pemerintahan desa sendiri, wilayah ini menjadi bagian dari Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Lampung Tengah.
Namun sebelumnya penulis akan sedikit memberikan beberapa deskripsi agar pembaca bisa memahami secara utuh opini yang disampaikan.
Pertama, berdasarkan Undang-undang No 6 Tahun 2014, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa sendiri merupakan pemerintahan terkecil di bawah kecamatan.
Kedua, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lampung Tengah Nomor 8 Tahun 2019 disebutkan bahwa kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah definisi dari sebuah Kampung.
Merujuk pada uraian pertama, Undang-undang No 6 Tahun 2014 dan kedua tentang Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lampung Tengah Nomor 8 Tahun 2019, keduanya memiliki makna yang sama. Yaitu, secara umum pemerintahan terkecil di bawah kecamatan adalah Desa, dan secara khusus di Lampung Tengah pemerintahan di bawah kecamatan disebut sebagai Kampung.
Nah, bicara soal Desa atau Kampung, di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Bangun Rejo yang menurut masyarakat di daerah tersebut sebagai Kampung Mekar Jaya ada satu peristiwa yang hingga saat ini masih menjadi polemik, dan hanya sebagai ‘rasan-rasan’ cerita dari mulut ke mulut, yaitu tentang pengangkatan putra Kepala Desa (Kades) atau disebut Kepala Kampung (Kakam) sebagai Sekretaris Desa (Sekdes) oleh sang Kades (yang dalam hal ini adalah ayah kandungnya).
Pasal 26 Ayat 2 huruf b pada Undang-undang No 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa menyebutkan bahwa (Kepala Desa) memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan Perangkat Desa.
Perangkat Desa sendiri diantaranya adalah Sekretaris Desa (Sekdes), yang kemudian dibantu oleh Kepala Urusan (Kaur) Tata Usaha dan Umum, Kepala Urusan Keuangan, Kepala Urusan Perencanaan Pelaksana Teknis yang masing-masing dipimpin oleh Kepala Seksi (Kasi) terdiri dari Seksi Pemerintahan, Seksi Kesejahteraan dan Seksi Pelayanan.
Jadi, secara undang-undang di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Lampung Tengah, ketika Kadesnya mengangkat Perangkat Desa sudah sesuai dengan regulasi yang tertuang pada Pasal 26 Ayat 2 huruf b pada Undang-undang No 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa.
Namun jika merunut pada Pasal 26 Ayat 4, hurup f, Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 yaitu kewajiban (Kepala Desa) dalam memilih perangkat desa yang Akuntable Transfaran, Rasional, Efektif, Efesien bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan NEPOTISME.
Lalu pasal berikutnya, yaitu Pasal 29 huruf f, (Kepala Desa) dilarang melakukan Kolusi, Korupsi dan NEPOTISME, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya.
NEPOTISME sendiri berarti lebih memilih keluarga, saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya.
Jadi, dalam konteks ini, Kades Mekar Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Lampung Tengah sepertinya sedang bermain pada ‘zona yang rawan di tepian jurang’, yaitu melakukan praktik Nepotisme dalam memilih dan mengangkat anak kandungnya sebagai Sekdes.
Patut kah? Kalau boleh beropini, jika merunut pada aturan yang ada, penulis menyebut ini diluar kepatutan.
”Pak Kedes tidak patut memilih dan mengangkat anak kandungnya sebagai Sekretaris Desa (Sekdes) di Kampung atau Desanya itu!”
Pada uraian di atas penulis menyebut bahwa diangkatnya anak kandung Kades sebagai Sekdes oleh ayahnya tersebut, hingga saat ini masih menjadi polemik, dan hanya sebagai ‘rasan-rasan’ cerita dari mulut ke mulut.
Untuk diketahui, Sekretaris Desa bertugas membatu Kepala Desa dalam bidang administrasi pemerintahan, yang diantaranya adalah:
- Melaksanakan urusan ketatausahaan seperti: tata naskah, administrasi surat-menyurat, arsip dan ekspedisi;
- Melaksanakan urusan umum seperti: penataan administrasi Perangkat Desa, penyediaan prasarana Perangkat Desa dan kantor, penyiapan Rapat, pengadministrasian aset, inventarisasi, perjalanan dinas, dan pelayanan umum;
- Melaksanakan urusan keuangan seperti: pengurusan administrasi keuangan, administrasi sumber-sumber pendapatan dan pengeluaran, verifikasi administrasi keuangan, dan administrasi penghasilan Kepala Desa, Perangkat Desa, BPD, dan lembaga Pemerintahan Desa lainnya;
- Melaksanakan urusan perencanaan seperti; menyusun rencana APBDesa, menginventarisir data-data dalam rangka pembangunan, melakukan monitoring dan evaluasi program, serta penyusunan laporan.
Nah, dengan sangat vitalnya tugas pokok dan fungsi Sekdes pada Pemerintahan Desa, ini sangat rentan terhadap praktik Korupsi dan Kolusi jika didapat dari hasil Nepotisme. Apalagi Pemerintahan Desa mendapatkan mandat, titipan Anggaran Dana Desa dari Pemerintah Pusat yang nilainya lebih dari Rp 1 miliar per-tahun.
Dengan kondisi polemik yang hanya ‘rasan-rasan’ cerita dari mulut ke mulut, tanpa ada reaksi kritik sebagai evaluasi kinerja sang Kades, ini berpotensi akan terjadi kemunduran dalam proses pembangunan di desa tersebut. Belum lagi kalau hanya ditunggangi oleh sekelompok orang dengan tujuan tertentu.
Jangan sampai suara kritis bukan untuk perbaikan, tapi untuk menggapai kepentingan yang lebih busuk dari lingkaran Nepotisme yang saat ini terjadi di desa tersebut.
Kalau hanya diam dan ‘rasan-rasan’ atau cerita dari mulut ke mulut, tidak ada penyadaran terhadap yang pucuk pimpinan di Kampung itu, Kades bisa semakin menjadi-jadi dan tidak hanya ‘bermain-main di tepi jurang’ tapi bisa benar-benar terjerumus dalam celaka.
Celaka Kades juga celaka Warga dan Masyarakat. Karena telah membiarkan sebuah ketidak patutan. Sedangkan ketidak patutan paling fatal adalah membiarkan ketidak patutan itu sendiri.
Dan, dalam Opini Pinggiran kali ini, penulis hanya sekadar ingin sedikit membangun kesadaran, serta sebagai bentuk implementasi tidak diam dengan ketidak patutan, jika Nepotisme pengangkatan anak Kades oleh Kades menjadi Sekdes ini disadari menjadi hal yang tidak patut.
Sekali lagi, “Enggak patut Kepala Desa mengangkat anak kandungnya sebagai Sekdes!”
Penulis: Widi Hatmoko | Jurnalis, Seniman dan Penggiat Media Sosial