JEJAK KATA, Lasem – Terletak di pesesir utara sebelah timur Jawa Tengah, wilayah ini dikenal sebagai Kota Tiongkok Kecil. Ya, Lasem! Salah satu kecamatan di daerah Rembang.
Selain memiliki keberagaman budaya, masyarakat Lasem dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Budaya Jawa, Arab, Tionghoa, Eropa ini menjadi satu kekayaan budaya yang terus dilestarikan oleh masyarakat di wilayah ini.
Kota Tangerang Klaim Mampu Kurangi Sampah 2,7 Juta Kilogram Pertahun?
Alkuturasi beberapa etnis di daerah ini pun meninggalkan jejak karya yang adiluhung, dan saat ini menjadi kebanggaan masyarakat, yaitu batik pesisir utara atau dikenal dengan Batik Lesem. Berbagai motif yang dihasilkan dari batik ini, tidak sekadar sebuah karya yang memiliki nilai estetika, namun juga sarat dengan sejarah perjalanan dan perjuangan masyarakat Lasem.
Dilansir dari berbagai sumber, perkembangan batik di Lasem, konon dimulai sejak masa Na Li Ni atau Putri Campa istri Bi Nang Un, seorang anggota ekspedisi Cheng He (1405-1433) yang memperkenalkan teknik membatik pada abad ke-15.
Masa keemasan perusahaan batik yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Lasem dimulai sekitar 1860-an. Perusahaan batik saat itu merupakan usaha yang paling menguntungkan setelah perdagangan candu.
Kontak beragam budaya dan perdagangan komoditas di pesisir pantai utara Jawa wilayah Lasem bermula dari beberapa titik singgah pelayaran. Beberapa titik yang bisa dikenali adalah pelabuhan Kiringan (telah hilang), muara Sungai Dasun (di Desa Dasun), dan pelabuhan Bonang (sebelah timur Kota Lasem).
C.T.H. Van Deventer menyebutkan kemunculan Batik Lasem dalam skala besar merupakan fenomena aneh dengan pengusahanya keseluruhan adalah orang Tionghoa.
Van Deventer juga mengutip dari Kolonial Verslag tahun 1892, Bijlage C, No. 10, dalam bagian Rembang dituliskan bahwa para pengusaha Batik Tionghoa membuat batiknya dengan cara mengirimkan kain kepada para pembatiknya yang berada di area produksi (rumah di Pecinan Lasem) maupun yag tersebar di beberapa desa. Cara pengirimannya, baik secara langsung atau dengan bantuan perantara.
Wowok dan Warga Taman Raya Bagikan 300 Porsi Nasi Tiap Jumat
Dia menyebutkan bahwa seorang pembatik bisa mendapatkan bahan untuk 50 hingga 500 kain dengan ditimbang lebih dahulu. Setelah kain ditutupi dengan malam (lilin) maka kain akan dikembalikan ke rumah pengusaha batik untuk diwarnai.
Jumlah pembatik di di Lasem ‘hanya’ berjumlah 4.300 orang, papar Van Deventer, yang terus-menerus terlibat dalam pekerjaan membatik, mayoritas pembatik adalah perempuan.
Pada akhir abad ke-19, pengusaha Batik Lasem memiliki pekerja laki-laki yang bertugas membuat batik cap ‘tjap’. Kain katun putih didapatkan dari para pengusaha kain katun bangsa Eropa. Lilin atau malam berasal dari Timor—Atapupu.
Atapupu adalah salah satu pelabuhan utama di Pulau Timor pada masa perdagangan Jalur Rempah. Jenis rempah yang diburu oleh para pedagang rempah dunia di Timor adalah cendana sejak abad 3 Masehi hingga abad 18 Masehi.
Lebih lanjut lihat artikel Agni Malagina dan Feri Latief di majalah National Geographic Indonesia edisi Februari 2015 berjudul “Titisan Pemburu Wewangian Surgawi”.
Lebih lanjut dalam Kolonial Verslag tahun 1892 yang dikutip Van Deventer, para pengusaha Batik tulis Lasem menghadapi ancaman dari ‘batik imitasi’, batik yang dibuat dengan cap dan diproduksi massal.
Namun, para pengusaha dan pembatik di Lasem konsisten mempertahankan cara dan motif tradisional Batik Lasem, sehingga ‘batik imitasi’ tidak terlalu popular di Lasem masa itu.
Rupanya, di masa lalu, Batik Lasem sudah menghadapi ancaman batik yang tidak dibuat dengan cara mencanting. Sejatinya ancamannya mirip dengan kondisi sekarang, ketika rumah-rumah batik tulis menghadapi teknik ‘malam dingin’, sablon, bahkan, kain printing motif batik.
Beruntung, para seniman Batik Lasem masa kini masih mempertahankan keberadaan batik tulis, walaupun kemunculan kain ‘printing’ motif Lasem itu juga akibat permintaan konsumennya.
Warga Kabupaten Tangerang, Waspadai Kondisi Perubahan Cuaca!
Satu hal menarik yang dikutip oleh Van Deventer dari Kolonial Verslag adalah munculnya tren kain yang dihiasi warna-warni ‘met kleuren vesierde’. Warna yang dimaksud adalah merah dari akar mengkudu, biru nila indigo, dan soga dari kayu tegeran pada 1890-1891.
Rupanya, warna utama batik ‘Tiga Negeri’ mulai digunakan pada tahun 1890. Pengusaha batik yang menggunakan warna-warna tersebut terdapat di Batavia, Pekalongan, Lasem dan Surabaya. Van Deventer juga menyebutnya sebagai kain dengan teknik yang rumit.
Pun, teknik tersebut masih tergolong rumit hingga saat ini! Lebih lanjut, Van Deventer menuliskan bahwa pewarna kimia yang disebut Aniline berupa pewarna kain berbentuk serbuk baru digunakan di Jawa Tengah untuk mewarnai batik pada 1904.
Dia menyebutkan pula bahwa penggunaan pewarna ‘Aniline’ merupakan ancaman bagi batik ‘berkualitas prima’ dengan pewarna alami.
Industri batik pada abad ke-19 merupakan salah satu industri rumahan yang banyak dikembangkan oleh orang Tionghoa di Hindia Belanda. Menurut Kong Yuanzhi, semula orang Indonesia menggunakan kain tenun setempat sebagai bahan batik tulis.
Seiring perkembangan waktu, Batik Lasem ini juga diproduksi oleh kelompok masyarakat non-etnis, atau warga lokal. Memiliki nilai historis yang telah lama melekat, Batik Lasem itu bisa menarik pembeli dari dalam maupun luar daerah, bahkan luar negeri. (***