MEMASUKI Bulan Dzulhijah, yaitu setelah bulan Syawal dan sebelum memasuki bulan Besar (Haji), ada tradisi unik masyarakat suku Osing di Desa Kemiren, Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Masyarakat di desa ini beramai-ramai mengeluarkan kasur dari dalam kamar dan dijejer rapi di depan rumah masing-masing. Uniknya, setiap kasur yang mereka keluarkan itu memiliki motif yang sama, yaitu merah dan hitam. Tradisi langka tersebut namanya Mepe Kasur atau menjemur kasur.
Tradisi Mepe Kasur ini merupakan rangkaian kegiatan rutin setiap tahun sebagai ritual bersih desa setiap bulan Dzulhijah.
Ritual ini dilakukan sejak pagi hingga siang hari, yaitu setelah matahari tepat diatas kepala atau sekitar pukul 12.00 WIB. Setelah itu kasur kembali digulung dan dimasukkan. Konon jika tidak segera dimasukkan hingga matahari terbenam apalagi sampai malam hari, ritual tersebut akan sia-sia alias tidak ada manfaatnya.
Kasur yang dijemur ini, oleh mereka dibersihkan dengan cara memukul-mukulkan penebah dari rotan, dengan tujuan agar debu dan segala kotoran yang terdapat pada kasur tersebut menjadi bersih. Sehingga segala penyakit yang menempel pada kasur tersebut akan hilang. Pada saat proses menjemuran kasur tersebut, dimulai dengan doa serta memercikan air bunga di halaman rumah tempat menjemur kasur.
Mengingat Tragedi 98, Ada Ritual “Rujak Pare Sambel Kecombrang”
Nah, soal warna kasur yang cenderung sama, yaitu merah dan hitam, konon memiliki makna tersendiri dalam kehidupan. Menurut mereka, merah melambangkan keberanian sedangkan hitam sebuah kelanggengan. Yang artinya, dalam menjalani hidup berumah tangga itu harus berani dan langgeng.
Dijadikannya kasur sebagai ritual ini, karena menurut kepercayaan masyarakat suku Osing Banyuwangi, kasur dianggap sebagai benda yang sangat dekat dengan manusia sehingga wajib dibersihkan agar kotoran yang ada di kasur hilang.
Biasanaya, setelah memasukkan kasur ke dalam rumah masing-masing, tradisi bersih desa ini dilanjutkan dengan arak-arakan barong. Barong diarak dari ujung desa menuju ke batas akhir desa. Setelah arak-arakan barong, masyarakat Osing melanjutkan berziarah ke Makam Buyut Cili yang diyakini masyarakat sebagai penjaga desa.
Tahan Ijazah Mantan Karyawan, 3 J Autorcare Cikupa Dilaporkan ke Disnaker
Puncaknya, yaitu setelah arak-arakan barong, mereka bersama-sama menggelar selamatan Tumpeng Sewu pada malam harinya.
Pada moment ini, semua warga mengeluarkan tumpeng khas warga Osing, yaitu pecel pithik alias ayam panggang dengan parutan kelapa. Kekhasan acara ini juga ditambah akan dinyalakan obor di setiap depan pagar rumah warga. (*