EsaiJejak Kata

Self-Esteem Peserta Didik dan Dampaknya pada Motivasi Belajar

×

Self-Esteem Peserta Didik dan Dampaknya pada Motivasi Belajar

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI | Pexels

TIDAK semua anak yang pandai berani menunjukkan dirinya. Ada siswa yang sebenarnya mampu menjawab soal dengan mudah, tetapi memilih diam karena takut salah. Ada mahasiswa yang sebenarnya paham materi, tetapi tidak percaya diri untuk mengangkat tangan saat diminta sukarelawan presentasi. Sebaliknya, ada pula siswa yang nilainya biasa saja, tetapi berani mencoba, bertanya, dan terus berkembang. Perbedaan itu tidak selalu datang dari kecerdasan, melainkan dari satu hal penting yang sering diabaikan dalam dunia pendidikan yaitu self-esteem atau harga diri.

Dalam konteks pendidikan self-esteem menentukan apakah peserta didik merasa dirinya mampu atau tidak, layak atau tidak, pantas berhasil atau hanya kebetulan beruntung. Ketika seorang siswa memiliki self-esteem yang baik, ia akan berani mencoba, bahkan dalam keadaan ragu. Ia tidak takut gagal karena yakin bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan bagian dari proses belajar. Inilah yang membuat motivasi belajar muncul secara alami bukan karena diperintahkan guru, tetapi karena ada keyakinan dalam dirinya bahwa belajar memang berguna untuk dirinya sendiri.

Sebaliknya, self-esteem yang rendah membuat peserta didik mudah menyerah bahkan sebelum mencoba. Dalam psikologi, hal ini dikenal sebagai self-handicapping, yaitu kecenderungan untuk menghindari tugas agar tidak terlihat gagal. Banyak siswa berkata “aku nggak bisa” bukan karena benar-benar tidak bisa, tetapi karena takut mencoba lalu terlihat bodoh. Akibatnya, motivasi belajar tidak muncul secara murni. Mereka belajar hanya untuk menghindari hukuman, bukan untuk berkembang. Mereka mengerjakan tugas hanya untuk selesai, bukan untuk memahami.

Sistem pendidikan sering tanpa sadar memperkuat rendahnya self-esteem karena pujian terlalu sering diberikan kepada hasil, bukan usaha. Anak yang mendapat nilai tinggi dipuji sebagai “pintar”, sementara yang nilainya rendah dicap “kurang belajar”. Padahal, dalam psikologi pendidikan, penilaian seperti ini membentuk pola pikir tetap (fixed mindset), yaitu keyakinan bahwa kecerdasan sifatnya bawaan dan tidak bisa bertambah. Anak cerdas takut gagal karena takut kehilangan labelnya, sedangkan anak dengan kemampuan terbatas tidak mau berusaha karena merasa sudah ditakdirkan berada di bawah. Dua-duanya kehilangan motivasi, hanya dalam bentuk yang berbeda.

Peran guru, dosen, dan orang tua sangat krusial dalam membentuk self-esteem peserta didik. Anak dengan nilai rendah tidak selalu malas kadang mereka hanya butuh diyakinkan bahwa mereka mampu.

Sebaliknya, peserta didik yang memiliki kemampuan akademik tinggi pun bisa kehilangan arah jika terus dibandingkan atau ditekan secara berlebihan. Self-esteem yang sehat membuat siswa lebih berani mencoba, tidak takut gagal, dan memiliki motivasi belajar yang bertahan dalam jangka panjang.

Pendekatan sederhana seperti memberi apresiasi atas usaha, bukan hanya hasil akhir, dapat membentuk keyakinan diri yang kuat. Guru dan orang tua juga perlu menghindari label negatif seperti “bodoh”, “nakal”, atau “pemalas”, karena kata-kata tersebut dapat tertanam dalam pikiran anak dan membentuk identitas diri yang salah.

Salah satu contoh nyata datang dari seorang siswa SMP yang selalu mendapat nilai rata-rata, tidak pernah dianggap istimewa secara akademik. Di kelas, ia lebih sering diam karena takut jawabannya salah dan ditertawakan. Hingga suatu hari, gurunya memintanya untuk membantu mendekorasi kelas karena melihat ia suka menggambar di buku catatannya. Setelah itu, sang guru berkata, “Aku suka idemu. Kamu punya rasa artistik yang bagus.” Bagi sebagian orang, itu mungkin pujian sepele, tetapi bagi anak itu, kalimat tersebut menjadi titik balik.

Kisah seperti ini menunjukkan bahwa self-esteem bukan sekadar konsep psikologi yang abstrak, melainkan kekuatan nyata yang bisa mengubah arah hidup seseorang. Setiap peserta didik memiliki potensi, tetapi potensi itu sering kali tersembunyi di balik rasa ragu yang mereka pelajari.

Pendidik dan orang tua memiliki peran penting untuk menjadi “cermin positif” yang menunjukkan pada mereka versi terbaik dari dirinya jika setiap anak mendapatkan satu orang saja yang percaya padanya sejak awal betapa banyak talenta yang mungkin tidak akan pernah padam.

Dengan demikian, penguatan self-esteem peserta didik perlu dipahami sebagai bagian integral dari proses pendidikan, bukan sebagai aspek pelengkap. Keberhasilan akademik tidak cukup diukur melalui capaian kognitif semata, sebab tanpa keyakinan terhadap kemampuan diri, peserta didik akan cenderung menghindari tantangan, pasif dalam pembelajaran, dan mudah menyerah saat mengalami hambatan.

Apabila self-esteem peserta didik dikembangkan secara konsisten sejak dini, maka motivasi belajar akan tumbuh secara intrinsik. Peserta didik tidak lagi belajar karena tekanan atau tuntutan eksternal, melainkan karena keyakinan bahwa dirinya mampu berkembang. Inilah tujuan pendidikan yang sesungguhnya  tidak hanya menghasilkan pelajar yang berpengetahuan, tetapi individu yang memiliki kepercayaan diri untuk terus belajar sepanjang hayat.

Penguatan self-esteem bukan hanya dilakukan melalui motivasi verbal, tetapi juga melalui praktik pedagogis yang inklusif dan humanis. Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk berpartisipasi, mengakui keberagaman gaya belajar, serta memberi umpan balik yang konstruktif merupakan langkah nyata untuk menciptakan pengalaman belajar yang bermakna secara psikologis. Demikian pula, keterlibatan orang tua dalam mendampingi proses belajar di rumah perlu diarahkan untuk memberikan dukungan emosional yang seimbang bukan sekadar menuntut hasil, melainkan menghargai setiap bentuk kemajuan.

Dengan sinergi antara lingkungan sekolah dan keluarga, self-esteem peserta didik akan tumbuh dalam ekosistem yang sehat. Pada akhirnya, pendidikan tidak hanya menciptakan generasi yang mampu menjawab soal ujian, tetapi generasi yang mampu mengambil keputusan, percaya pada potensinya, dan tetap berdiri tegak meskipun menghadapi kegagalan.

Disitulah kualitas sumber daya manusia yang sesungguhnya terbentuk bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara mental dengan bekal kepercayaan diri yang sehat, peserta didik tidak mudah goyah oleh tekanan kompetisi maupun kegagalan sementara. Mereka mampu melihat pembelajaran bukan sekadar kewajiban, melainkan proses untuk memahami diri dan lingkungannya secara lebih dewasa. (*


Penulis: Nur Soimatul Azla
Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNTIRTA Serang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *