MEROKOK di lingkungan sekolah, jika ini dilakukan oleh seorang murid, itu sudah sangat keterlaluan. Kalau didiamkan oleh pihak sekolah, ini akan lebih keterlaluan lagi.
Karena sudah jelas, larangan merokok di sekolah sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.
Pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa seluruh warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, hingga pihak lain yang berada di lingkungan sekolah, dilarang keras untuk merokok maupun melakukan aktivitas yang berhubungan dengan rokok. Alasan kenapa siswa tidak boleh merokok, alasannya juga jelas karena dapat merusak kesehatan anak bangsa. Itu alasan paling utama.
Bicara soal larangan merokok di lingkungan sekolah, pada pertengahan Oktober 2025, SMAN 1 Cimarga Lebak, Banten, telah mengguncang jagat media, baik media mainstream maupun media sosial. Hal ini berawal dari seorang siswa yang kepergok merokok lalu mendapatkan tindakan represif dari kepala sekolah. Karena tidak terima, orang tua murid melaporkan kejadian ini ke polisi. Tak cukup sampai di situ, ratusan murid juga mogok belajar atas tindakan kepala sekolah. Lalu, kepala sekolah dinonaktifkan.
Sontak, gubernur dan wakil gubernur Banten jadi sorotan. Warganet menilai, tindakan yang dilakuka oleh pemimpin Banten itu hanya melihat sebelah mata. Berbagai komentar miring pun dilontarkan. Karena, sikap politisi yang terpilih dalam pemilihan gubernur 2024 lalu ini, dinilai membela si murid kepergok merokok ini. Lagi-lagi, murid perokok ini dijamu bak seorang atlit pelajar berprestasi oleh sang wakil gubernur.
Meski sang kepala sekolah sudah diaktifkan kembali (lantaran suara sumbang terus berdesing di media-media sosial), tetap saja sang gubernur dan wakilnya dinilai nyleneh alias tidak lumrah.
Bayangkan saja, berapa banyak anak-anak berprestasi di Banten ini yang tidak mendapatkan perlakuan istimewa seperti murid perokok yang cengeng dan lebai ini?
Perlakuan gubernur Banten ini berlebihan dan beraroma politis. Pelanggar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah diperlakukan bak anak emas.
Dasar pendidikan di Indonesia adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan landasan hukum dan filosofis utama sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain itu, memang betul, pendidikan juga berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional, dan bertujuan membentuk generasi yang cerdas, bermoral, dan peduli sosial, serta tanggap terhadap perubahan zaman.
Apakah dengan memperlakukan istimewa seorang murid yang melanggar aturan dan sekadar viral bagian dari konsep pendidikan?
Hari ini, masih ada ribuan, atau mungkin puluhan ribu anak-anak murid di Banten yang butuh bimbingan konseling untuk memperbaiki moral mereka. Tetapi jika tenaga pendidik tidak diberi kewenangan untuk memberikan efek jera kepada anak-anak yang salah agar moralnya menjadi lebih baik, dunia pendidikan hanya akan melahirkan generasi-generasi yang kurang ajar.
Kita bisa belajar dari pemimpin sebelah, trobosan untuk membentuk karakter generasi yang bukan saja tidak kurang ajar, tapi juga kuat serta menanamkan jiwa patriotik, menitipkan anak-anak murid bandel ke barak tentara.
Lah, ini baru ditampar karena kepergok merokok saja cengeng, emaknya bikin laporan ke polisi. Lagi-lagi, gubernurnya ikut memperlakukannya layaknya murid yang baru saja mendapatkan juara olimpiade matematika.
Kita tidak pernah sepakat dengan adanya aksi penganiayaan oleh guru atau kepala sekolah terhadap anak-anak muridnya, tapi kita lebih tidak setuju jika murid kurang ajar diperlakukan jauh lebih istimewa. Ehem, dunia pendidikan jangan dipolitisasi untuk membangun pencitraan! (*
Penulis: Widi Hatmoko
Seniman/Jurnalis






