EsaiJejak Kata

Rapuhnya Tata Kelola Sumber Daya Alam dan Politik Ekonomi Nikel

×

Rapuhnya Tata Kelola Sumber Daya Alam dan Politik Ekonomi Nikel

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI | Istimewa

INDONESIA adalah negara kaya sumber daya alam. Batu bara, nikel, emas, hingga minyak dan gas menyebar hampir di seluruh wilayah nusantara. Kekayaan ini semestinya menjadi modal besar untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun, realitas di lapangan justru memperlihatkan wajah sebaliknya: konflik agraria, kerusakan lingkungan, dan ketidakadilan sosial.
Salah satu sumber persoalan terbesar adalah tumpang tindih izin tambang. Fenomena ini menjadi simbol betapa rapuhnya tata kelola sumber daya alam Indonesia, sekaligus menunjukkan kuatnya dominasi elite dalam menentukan arah kebijakan.

Akar Masalah: Ledakan Perizinan dan Lemahnya Tata Kelola

Tumpang tindih izin tambang berawal dari era desentralisasi, ketika pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menerbitkan izin usaha pertambangan (IUP). Alih-alih memperkuat partisipasi lokal, kewenangan ini justru dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan cepat. Ribuan izin dikeluarkan dalam waktu singkat, tanpa mempertimbangkan tata ruang dan keberlanjutan lingkungan.

Banyak daerah bahkan mengeluarkan izin di kawasan yang statusnya tumpang tindih: hutan lindung, lahan pertanian produktif, atau wilayah adat. Situasi diperparah oleh lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Akibatnya, satu kawasan bisa memiliki dua hingga tiga izin berbeda yang sama-sama “sah” menurut dokumen pemerintah.

Penarikan kewenangan izin ke pusat pada 2020 diharapkan menjadi solusi, namun permasalahan lama tidak serta-merta selesai. Data yang tidak sinkron, birokrasi yang lambat, serta resistensi politik daerah membuat praktik tumpang tindih tetap berlangsung.

Dampak Sosial: Rakyat Jadi Penonton di Tanah Sendiri

Tumpang tindih izin tambang bukan sekadar masalah administratif, melainkan tragedi sosial. Masyarakat lokal sering kali mendapati tanah yang mereka garap turun-temurun tiba-tiba diklaim perusahaan tambang.

Tanah adat dan lahan pertanian digusur, memaksa warga kehilangan mata pencaharian. Konflik horizontal antara warga dengan perusahaan, bahkan antar warga, menjadi hal yang tidak terhindarkan.

Dalam banyak kasus, masyarakat hanya diberi ruang formalitas melalui tanda tangan persetujuan. Padahal, mereka tidak benar-benar memahami konsekuensi dari aktivitas tambang. Akhirnya, mereka hanya menjadi penonton sekaligus korban, sementara keuntungan tambang mengalir ke pemegang izin dan elite politik.

Dampak Ekologis: Kerusakan Tak Terkendali

Selain konflik sosial, dampak lingkungan akibat tumpang tindih izin tambang juga sangat serius. Seperti Kerusakan hutan, pembukaan lahan tambang menyebabkan deforestasi besar-besaran, menghilangkan keanekaragaman hayati dan mempercepat perubahan iklim. Lalu pencemaran air, imbah tambang mencemari sungai, merusak ekosistem, dan menghilangkan sumber air bersih masyarakat, Lubang tambang terbengkalai hingga banyak bekas tambang dibiarkan terbuka tanpa reklamasi karena tidak jelas siapa yang bertanggung jawab. Lubang-lubang ini sering menjadi kubangan maut bagi warga sekitar, dan yang terakhir adalah bencana alam, hilangnya tutupan hutan memperbesar risiko banjir dan longsor, yang semakin sering terjadi di daerah tambang.

Tumpang tindih izin membuat pengawasan pemerintah semakin lemah. Perusahaan saling lempar tanggung jawab, sementara kerusakan lingkungan tidak pernah benar-benar dipulihkan.

Politik SDA: Dominasi Elite dan Patronase Kekuasaan

Di balik carut-marut izin tambang, terdapat dominasi elite politik dan bisnis. Izin sering dijadikan alat transaksi, baik sebagai sumber dana politik maupun sebagai jaminan aliansi kekuasaan.

Fenomena ini mencerminkan hubungan patronase antara pengusaha tambang dan elite politik. Para pengusaha membutuhkan akses izin, sementara elite membutuhkan dukungan finansial. Pola ini menjadikan kebijakan SDA sarat kepentingan kelompok kecil, bukan kepentingan rakyat luas.

Akibatnya, regulasi yang lahir seringkali tidak berpihak pada masyarakat atau lingkungan, melainkan memfasilitasi akumulasi kekayaan segelintir pihak.

Jalan Reformasi: Harapan yang Masih Jauh

Pemerintah sebenarnya telah berupaya melakukan perbaikan, misalnya dengan membentuk sistem online untuk mengintegrasikan data perizinan, serta menarik kewenangan izin tambang ke pusat. Namun, implementasi di lapangan belum sepenuhnya efektif. Masih ada banyak izin yang tumpang tindih, dan praktik kolusi dalam penerbitan izin belum sepenuhnya hilang.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola SDA. Transparansi data izin tambang, integrasi sistem perizinan pusat dan daerah, serta pengawasan yang ketat harus menjadi prioritas. Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam proses perizinan harus diperkuat agar kepentingan mereka tidak dikorbankan. Penegakan hukum yang tegas terhadap praktik korupsi dan kolusi dalam penerbitan izin juga menjadi kunci untuk mengurangi dominasi elite.

Kembali ke Amanat Konstitusi

Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, kenyataan hari ini menunjukkan sebaliknya: izin tambang tumpang tindih, konflik meluas, lingkungan rusak, dan rakyat kecil tersisihkan.

Selama dominasi elite masih mengendalikan kebijakan SDA, amanat konstitusi hanya akan menjadi slogan tanpa makna. Reformasi tata kelola bukan hanya soal memperbaiki administrasi, tetapi juga soal keberanian politik untuk benar-benar mengembalikan kekayaan alam kepada pemilik sahnya: rakyat Indonesia.

Mengembalikan SDA untuk Rakyat

Tumpang tindih izin tambang mencerminkan ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Keuntungan besar dinikmati oleh kelompok kecil pemegang izin, sementara masyarakat luas menanggung kerugian sosial, ekonomi, dan ekologis.

Sumber daya alam seharusnya menjadi milik rakyat, bukan alat akumulasi kekuasaan. Reformasi yang menyeluruh diperlukan untuk memastikan izin tambang dikelola secara adil, transparan, dan berpihak pada keberlanjutan lingkungan.

Selama dominasi elite masih mengendalikan arah kebijakan, kekayaan alam negeri ini hanya akan menjadi sumber ketidakadilan. Yang diperlukan adalah keberanian politik untuk menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan segelintir orang. Tanpa itu, tumpang tindih izin tambang akan terus berulang, dan rakyat akan tetap menjadi penonton di tanah mereka sendiri.


Penulis: Maida Safa Elvina
Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi S1 Ilmu Komunikasi, FISIP-UNTIRTA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *