EsaiJejak Kata

Representasi Politik dalam Bayang-bayang Demokrasi Formal

×

Representasi Politik dalam Bayang-bayang Demokrasi Formal

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI

SALAH satu pondasi utama demokrasi modern adalah gagasan tentang representasi politik: bahwa rakyat tidak memerintah secara langsung, tetapi melalui para wakil yang dipilih. Dalam teori representasi klasik, Hannah Pitkin menjelaskan bahwa representasi bukan sekadar hadirnya seorang individu di lembaga perwakilan, tetapi menyangkut tindakan nyata dalam menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan konstituennya. Namun, realitas hari ini memperlihatkan bahwa keberadaan para wakil rakyat sering kali berhenti pada tataran simbolik. Mereka hadir secara fisik dalam parlemen, namun sering gagal menghadirkan suara dan aspirasi nyata dari masyarakat akar rumput. Representasi menjadi kehilangan makna ketika ia hanya menjadi ritual pemilu lima tahunan, bukan praktik politik yang hidup sehari-hari.

Lebih dari itu, dalam sistem demokrasi elektoral, representasi acap kali dimonopoli oleh elit partai. Proses pencalonan tidak dibuka secara terbuka bagi rakyat, melainkan ditentukan oleh elite yang bermain dalam arena kekuasaan. Akibatnya, rakyat hanya diberi pilihan dari segelintir nama yang diajukan partai, tanpa kendali penuh atas siapa yang mewakili mereka. Di sinilah muncul kesenjangan antara keterwakilan secara formal dan keterwakilan substantif. Seorang wakil bisa saja berasal dari daerah pemilihan tertentu, tetapi tidak memiliki hubungan sosial, empatik, maupun komitmen terhadap komunitas tersebut. Dalam situasi seperti ini, representasi politik kehilangan esensinya sebagai mekanisme pemberdayaan rakyat dan berubah menjadi permainan elit yang tak menyentuh realitas masyarakat luas.

Simbolisme Tanpa Isi

Keterwakilan identitas seperti perempuan, pemuda, atau kelompok minoritas kerap dijadikan ukuran keberhasilan demokrasi. Kehadiran mereka di parlemen sering kali dirayakan sebagai kemenangan pluralisme. Namun kita perlu mengkritisi apakah kehadiran mereka betul-betul disertai perjuangan atas kepentingan kelompok yang mereka representasikan. Pitkin membedakan antara representasi deskriptif (kehadiran orang yang secara identitas menyerupai kelompok tertentu) dan representasi substantif (pembelaan terhadap kepentingan kelompok tersebut). Ketika seorang perempuan menjadi anggota parlemen, tetapi tidak berkontribusi pada pengesahan kebijakan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, maka kehadirannya hanya menjadi simbol belaka, bukan wujud representasi sejati.

Hal yang sama terjadi pada keterwakilan etnis, agama, atau daerah. Seorang kepala daerah yang berasal dari kelompok minoritas sering dipuji sebagai wujud demokrasi inklusif. Namun setelah menjabat, kebijakannya tak jarang justru mengikuti arus mayoritas dan mengabaikan hak-hak komunitasnya sendiri. Ini menunjukkan bahwa simbol representasi bisa berfungsi sebagai alat legitimasi sistem yang eksklusif, bukan alat perubahan. Representasi tidak boleh

berhenti pada siapa yang terlihat, tetapi harus terus bertanya: siapa yang didengarkan, siapa yang diperjuangkan, dan siapa yang mendapat ruang untuk menentukan arah kebijakan?

Representasi dan Relasi Kuasa

Masalah mendasar dari representasi politik hari ini adalah keterputusan antara rakyat dan wakilnya. Banyak anggota legislatif yang setelah terpilih, mengabdi bukan pada rakyat, melainkan pada partai atau kelompok kepentingan yang membiayai kampanyenya. Relasi ini menciptakan bentuk baru dari patronase politik, di mana kekuasaan tidak berjalan dari bawah ke atas, melainkan sebaliknya. Di sini, representasi berubah dari fungsi pelayanan menjadi fungsi pengendalian. Rakyat menjadi objek mobilisasi politik, bukan subjek yang memiliki kuasa menentukan arah pembangunan.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana demokrasi prosedural bisa dijalankan tanpa semangat demokrasi substansial. Sistem pemilu mungkin berjalan lancar, tetapi makna keterwakilan menjadi hampa. Mekanisme kontrol publik terhadap para wakilnya pun lemah. Partisipasi rakyat dipersempit hanya dalam bentuk mencoblos di bilik suara, bukan dalam bentuk pengawasan, dialog, atau keterlibatan aktif dalam proses legislasi. Dalam konteks ini, teori representasi politik harus diperluas: bukan hanya tentang siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi juga tentang siapa yang memiliki kuasa mengarahkan suara-suara itu agar bermakna.

Representasi di Era Digital

Era digital membawa ilusi keterwakilan baru. Media sosial membuka ruang bagi semua orang untuk bersuara dan menyuarakan opininya. Namun kenyataannya, algoritma digital memperkuat suara-suara dominan dan meminggirkan yang marjinal. Representasi yang terbentuk di ruang digital lebih sering berdasarkan popularitas dan viralitas, bukan keberpihakan atau substansi. Hal ini berbahaya karena membuat persepsi publik dikuasai oleh figur-figur yang fasih berbicara, namun minim komitmen dan kedalaman perspektif.

Lebih dari itu, digitalisasi politik menciptakan wajah baru dari polarisasi. Representasi politik bergeser dari forum deliberatif menjadi arena konflik identitas dan fanatisme. Banyak politisi memanfaatkan media sosial bukan untuk mendengar aspirasi rakyat, tapi untuk membentuk citra yang menguntungkan dirinya sendiri. Ini membuat konsep representasi menjadi semakin personal dan emosional, bukan institusional dan rasional. Dalam dunia digital, representasi bukan lagi tentang keterhubungan antara wakil dan rakyat, melainkan tentang performa. Dan performa bisa mengaburkan keaslian.

Representasi dan Keterlibatan Rakyat

Representasi politik yang sejati hanya dapat tercapai bila rakyat tidak hanya menjadi pemilih, tetapi juga menjadi pengawas dan pengarah. Demokrasi yang sehat menuntut keterlibatan rakyat secara aktif dan terus-menerus. Dalam banyak kasus, keterlibatan ini direduksi menjadi formalitas: undangan reses, kotak aspirasi, atau survei publik. Padahal, partisipasi yang bermakna membutuhkan ruang interaksi yang terbuka, kritis, dan setara antara wakil dan yang diwakili.

Penting bagi gerakan sosial, LSM, dan komunitas akar rumput untuk mengambil peran aktif dalam membangun budaya representasi yang partisipatif. Mereka harus menjadi jembatan antara rakyat dan institusi politik, sekaligus menjadi pengingat bahwa kekuasaan harus terus diawasi. Representasi bukanlah sesuatu yang diberikan dari atas, melainkan harus diperjuangkan dari bawah. Hanya dengan begitu, representasi bisa menjadi alat perjuangan, bukan sekadar formalitas demokrasi.

Menantang Representasi Elitis

Salah satu problem terbesar dalam sistem representasi politik adalah kecenderungannya untuk dikuasai oleh kelas menengah-atas dan elit partai. Dalam banyak negara, termasuk Indonesia, parlemen diisi oleh individu-individu yang berasal dari latar belakang ekonomi, pendidikan, dan sosial yang relatif homogen. Hal ini menciptakan bias kelas dalam pembuatan kebijakan, di mana suara kelompok rentan seperti buruh, petani, nelayan, dan perempuan miskin jarang mendapat tempat. Representasi menjadi elitis dan semakin jauh dari realitas.

Untuk melawan dominasi ini, dibutuhkan upaya afirmatif dalam politik: pembukaan akses, penguatan kapasitas, dan dukungan terhadap calon legislatif dari kelompok akar rumput. Perlu ada pergeseran dalam cara kita memahami siapa yang layak menjadi wakil rakyat. Bukan mereka yang punya modal besar atau latar belakang elite, tetapi mereka yang punya komitmen, keberpihakan, dan kedekatan dengan rakyat. Representasi sejati hanya bisa terjadi jika orang-orang dari rakyat benar-benar duduk di ruang pengambilan keputusan, bukan sekadar menjadi latar belakang retoris kampanye politik.

Kesimpulan Memperluas Makna Representasi

Teori representasi politik mengajarkan kita bahwa demokrasi bukan sekadar tentang siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi siapa yang menentukan arah dan isi kekuasaan itu. Di tengah tantangan era digital, dominasi elit, dan minimnya partisipasi rakyat, makna representasi harus diperluas. Ia bukan hanya hubungan antara pemilih dan wakil, tetapi proses kolektif yang menuntut keterlibatan aktif, kesadaran kritis, dan kontrol sosial.

Ke depan, tantangan terbesar demokrasi adalah menjadikan representasi politik sebagai ruang pembebasan, bukan sekadar arena perebutan kekuasaan. Representasi harus bisa mewakili yang tak terwakili, menyuarakan yang dibungkam, dan memperjuangkan mereka yang dilupakan oleh sistem. Tanpa itu, demokrasi hanya akan jadi nama lain dari kekuasaan segelintir atas nama yang banyak.

Opini ini adalah tanggung jawab penulis, dan tidak mewakili pandangan redaksi


Penulis: Zahra Aulia Mumtaz
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
Universitas Sultan Ageng Tirtaysa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *