JEJAK KATA, Cirebon – Secara geografis Cirebon berada di wilayah dataran rendah. Daerah ini memiliki garis pantai sepanjang 54 kilometer. Dengan kondisi geografi seperti ini suhu Cirebon cukup hangat, cocok untuk tebu, tanaman khas daerah tropis. Itulah sebabnya banyak terdapat perkebunan tebu di wilayah Cirebon, termasuk Cirebon timur. Untuk mengolah tebu menjadi gula, maka di wilayah ini pun terdapat beberapa pabrik gula (PG).
Dari 22 pabrik gula di seluruh wilayah Cirebon, sedikitnya terdapat tiga pabrik di gula di wilayah Cirebon timur, yaitu PG Tersana Baru, Babakan; PG Sindanglaut, Lemahabang; dan PG Karangsuwung, Karangsembung. Nama terakhir sudah tidak beroperasi sejak tahun 2024. Sejak itulah kisah-kisah mistis nan seram bermunculan dari pabrik gula yang berdiri pada tahun 1860 oleh keluarga besar Hubertus Paulus Hoevenaar yang merupakan pemilik dari Maatschappij tot exploitatie der suikerfabrieken Karangsoewoeng, Adiwerna en Djatibarang.
PG Karangsuwung berdiri tepat di pertigaan jalan Desa Karangsembung, Kecamatan Karangsembung, Kabupaten Cirebon. Sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Cirebon. Saat masih aktif beroperasi, setiap musim panen tebu, warga setempat menyebutnya potong tebu, dan saat tebu hendak diproses menjadi gula, diadakan penganten tebu setiap tahun. Sebuah tradisi yang menandai masuknya musim giling.
Ritual penganten tebu ini berupa dua batang tebu yang dibentuk seperti sepasang mempelai penganten yang diarak keliling area pabrik gula dan sekitarnya diiringi tetabuhan dan tari-tarian. Tradisi ini menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat sekitar pabrik. Selama dua minggu sebelum dan sesudah ritual penganten tebu, digelar pasar malam yang meriah. Pada masa lalu berbagai tontonan seperti pertunjukan wayang golek, tong setan, dan sebagainya akan turut meramaikan.
Menurut Agus Yudi, karyawan pabrik gula 1994-2024, mengatakan, kalau tradisi penganten tebu ini dihilangkan akan terjadi hal-hal yang tidak masuk akal. “Seperti mesin yang macet, cerobong yang lepas, dan lain-lain yang menyebabkan kecelakaan dan memakan korban,” kata Agus.
Sentot Suparno, karyawan pabrik gula lainnya, menuturkan bahkan kecelakaan dapat terjadi ketika ada yang kurang dari ritual yang dilakukan. “Jadi ritual harus lengkap, runut. Ritual penganten tebu pada dasarnya syukuran, sebagian dari permintaan restu kepada Tuhan YME, kepada masyarakat setempat supaya musim giling berjalan lancar,” kata pria yang menjadi karyawan Pabrik Gula Karangsuwung dari 1990 hingga 2021.
Salah dalam menentukan hari pertama musim giling pun dapat berdampak pada munculnya kejadian aneh yang dapat mengganggu kelancaran. “Penentuan hari giling setap pabrik gula berbeda-beda. Kalau di Pabrik Gula Karangsuwung ini harus pakai pasaran Legi. Kalau di Jawa itu kan ada hari pasaran, ada legi, kliwon. Nah, tradisi resepsi penganten tebu di Pabrik Gula Karangsuwung ini dulu harus dilakukan pada hari pasaran legi, misal Rabu Legi, Kamis Legi, Jumat Legi. Akan terjadi kecelakaan atau kejadian yang membawa korban bila ritual penganten dilakukan di luar pasaran legi,” kata Sentot.
Suhada, warga sekitar pabrik mengaku suatu malam pernah melihat resepsi digelar halaman pabrik gula sangat meriah. “Tamu undangan yang datang kebanyakan bule-bule. Juga terdengar derap tentara. Padahal pabrik itu sudah lama nggak produksi,” ujar pria 53 tahun itu.
Bangunan bekas Pabrik Gula Karangsuwung kini terbengkalai, rumput liar memenuhi setiap pojoknya. Kesan angker mencuat kuat dari halaman pabrik, tak heran lokasi ini kerap dijadikan tempat acara ‘Uji Nyali’. “Saya juga pernah mendengar peluit dari dalam pabrik yang menandai masuknya musim giling,” tutur Suhada mengakhiri perbincangan dengan jejakkata.news.