JUMAT pagi. Saya belum beranjak dari tempat tidur. Tiba-tiba seisi kampung geger. Beberapa orang berlarian menyasak pekarang rumah yang bersebelahan dengan kamar tidur. Saya pun kaget, dan langsung bergegas keluar. Ternyata, benar, orang-orang berlarian, dan sebagian malah sudah berkumpul di rumah Kang Buwang.
SAMBIL me-ngucak-ucak mata, dan sedikit masih bermalas-malas, saya bertanya kepada seseorang yang berjalan setengah berlari ke arah rumah itu.
”Ada apa Kang?” Tanya saya.
”Aa..ada maling!” Jawabnya dengan nafas tersengal.
”Maling apa?” Saya mendesak.
”Maling sapi!” Suaranya, dengan nada yang semakin kencang, ”Sapinya Kang Buwang dimaling!” Imbuhnya lagi, sambil mempercepat langkah kakinya.
Saya pun langsung ikut berbaur di antara warga yang lain.
Rumah Kang Buwang sudah ramai—sebagian berkerumun di pelataran rumah—ada juga yang berjubal di dalam rumah; yang lain lagi bergerombol di sekitar kandang sapi yang sudah kosong. Tak ada cerita yang lain, selain cerita seputar maling, maling, dan maling. Maling yang barusan tadi, maling beberapa bulan yang lalu, setahun yang lalu, dan yang sudah-sudah. Maling yang di kampung ini tadi, maling yang di kampung sebelah, dan maling yang ada di mana-mana.
Dalam pikiran saya, entah bagaimana cara maling itu menyelinap dan menuntun sapi—tetap saja sebuah misteri. Hanya maling-maling itu sendiri yang tahu. Meskipun begitu banyak pula yang menyimpulkan dengan berbagai praduga, tetapi tetap maling itulah yang berpikir paling cerdik. Buktinya, sapi itu bisa digondolnya dengan sukses tanpa seorang pun melihat. Dasar maling, disebut sebagai apapun, dan menyamar sebagai apapun ya tetap saja maling. Maliiiing!”
“Saudara-saudara sekalian!” Suara Pak Bayan keras, ”Sehubungan dengan telah hilangnya sapi Kang Buwang yang dicolong maling beberapa jam yang lalu, saya atas nama sesepuh kampung mengajak saudara-saudara untuk mau bergotong-royong, bahu-membahu, merapatkan barisan mengejar maling-maling sapi itu! Bagaimana, setujuu?!” Lanjutnya.
Dengan serentak pula, seluruh warga menjawab, kompak.
”Setujuuu!”
Tanpa banyak komentar, semua langsung bergegas meninggalkan rumah Kang Buwang. Dengan alat seadanya; golok, arit, linggis, kampak, serta batang kayu yang disahut dari sekitar kandang sapi, langkah mereka menjadi garang, mengejar maling sapi.
*
Semburat jingga sudah berganti pijar matahari yang menjamah, dan menghangati seisi bumi. Langit semakin membiru. Sementara, gerombol awan menyerupai wedus gembel—di bawah langit—diseruduk angin, ikut berlari mengiringi langkah-langkah kaki pemburu maling sapi.
Saya yang berada di antara mereka, berjalan mengikuti jejak telapak-telapak sapi itu. Ladang-ladang orang diterabas. Sawah-sawah tadah disasak. Parit, dan kali diseberangi.
Agak sulit memang mengenali jejak-kaki-kaki sapi itu. Karena begitu banyak jejak-jejak kaki sapi yang menapak di sepanjang perburuan. Dan, tak satupun bekas telapak-telapak kaki itu yang mempunyai tanda khusus; bertuliskan ‘sapi Kang Buang’ atau cap stempel maling yang baru lewat. Namun, semua berlogika, bekas telapak kaki sapi yang paling baru lah yang paling diyakini sebagai bekas telapak kaki sapi Kang Buwang.
Hampir saja kami kehilangan jejak, bekas telapak kaki sapi itu hilang menyeberangi parit. Langsung, semua berpencar; sebagian ke hulu, sebagian lagi ke hilir. Perjuangan yang hebat, tidak sia-sia, bekas telapak kaki sapi itu pun ditemukan di sekitar limaratus meter ke arah hulu, tepat didekat tai sapi yang masih hangat.
Perburuan pun berlanjut. Sepanjang perjalanan kami juga tak diam-diam, bertanya kepada setiap orang yang berpapasan. Ya, sekedar mencari informasi.
”Pak?” Tanya saya kepada seseorang yang sedang menyiangi tanaman songkong, ”Apakah bapak melihat orang membawa sapi melintasi di jalanan ini?”
”Ya, apa bapak melihat?” Seorang di antara saya ikut nyerocos enggak mau kalah.
Maklum saja, enggak puny ide, jadi, supaya terlihat eksis dan ikut bekerja, copy paste omongan orang.
”Ada,” jawabnya agak sedikit heran, ”Tapi sudah beberapa jam yang lalu,” tambahnya
”Terus, mereka berjalan ke arah mana Pak?” Tanya seseorang yang lain lagi.
”Ke arah utara,” sambil tangannya menujuk ke arah yang dimaksud.
Hm, sebuah petunjuk yang cukup berarti.
Langkah kami pun semakin yakin. Sambil terus berjalan setengah berlari, dan sesekali diantara kami mengumpat semau-maunya.
”Kampret! Sialan maling-maling itu! Lihat saja nanti, kalau ketangkap, saya cincang!”
”Huss! Emangnya daging sapi kok dicincang!”
”Jangan dicincang, tapi kita gebuki aja sampai klenger!”
”Jangan digebuki, tapi dibacok-bacok seperti ini! Nich! Nich! Nich!” Sambil menghunuskan goloknya, menebasi pohon-pohon pisang sepanjang pinggir jalan.
”Heh! Jangan ngawur! Tanaman orang jangan dirusak!” Cegah Pak Bayan
”Ups, sori Pak, saking esmosinya nich! He..he, emosi maksudnya!”
”Eh, nggak usah dicincang, digebuki, atau dibacok-bacok. Ditempelengin sambil dikilik-kilik aja lucu kayaknya ya?”
”Heleh! Mendingan kalau ketangkep langsung kita bawa saja ke kantor Polisi!”
”Kantor Polisi?”
”Iya, Kantor Polisi!”
”Wah, saya tidak setuju!”
”Ya harus setuju dong!”
”Iya, sempean setuju. Soalnya saudara sampean ada yang jadi Polisi kan?”
”Bukan begitu Jek! Negara kita kan negara hukum. Jadi, semua yang salah ya harus diselesaikan secara hukum. Bukan dihakimi sendiri seperti itu!”
Kembali Pak Bayan menimpali.
”Heleh! Kayak nggak tahu kelakuan Polisi-polisi di sini aja. Iya kalau benar-benar diproses secara hukum, lah kalau tidak?”
”Huh! Jangan berprasangka buruk! Enggak semua Polisi kelakuannya bobrok kan?”
”Eh, sudah..sudah! Kita lihat aja nanti!”
Perjalanan semakin jauh. Lima sampai enam kampung tak terasa sudah terlewati. Entah, mengapa tiba-tiba kaki saya menjadi begitu perkasa. Padahal, sejak saya bangun dari tempat tidur, beranjak ke rumah Kang Buwang, sampai saya ikut mengejar maling-maling sapi itu, belum ada sedikit pun asupan ke dalam tubuh saya. Jangankan makanan, segelas air putih pun tak sempat menyiram tenggorokan saya. Tetapi, memang begitulah, semangat yang tinggi terkadang bisa mengalahkan segal-galanya, termasuk perut yang lapar.
Kami pun memasuki kampung di pinggir alas belukar. Langkah kami menjadi semakin berhati-hati. Meskipun telapak-telapak bekas kaki sapi itu sudah kelihatan begitu samar, tapi kami yakin, di alas belukar ini para maling menyusup membawa sapi itu. Kami mulai berpencar. Saya berpencar ke arah timur, sebagian lagi ke arah barat. Sambil terus merangsek ke dalam alas belukar.
Sama seperti pikiran Pak Bayan dan orang-orang yang lain—dalam bayangan saya, maling-maling itu pasti sedang menyembelih sapi hasil curiannya.
Jika kami memergokinya, pasti akan terjadi perkelahian yang sangat hebat. Jumlah kami lebih banyak. Semua membawa alat; golok, linggis, kampak, arit, juga batang kayu yang cukup besar. Jika serentak kami menyerang, maling-maling itu pasti akan mampus. Tapi, bagaimana jika maling-maling itu membawa senjata api? Meskipun jumlahnya hanya tiga atau empat orang saja, kami pasti akan kuwalahan.
Tiba-tiba, seorang diantara kami berteriak-teriak.
”Hoii! Cepat kemari! Lihat, ada seekor sapi di sini?” Kami pun langsung berhamburan beberapa ratus meter mendekat. Dan, ternyata benar, ada seekor sapi yang diikatkan pada sebuah pohon.
”Iya, itu sapi kang Buwang. Lihat buntutnya! Sama, persis kan?” Teriak seseorang dintara kami. Semua pun yakin bahwa sapi itu adalah sapi Kang Buwang.
”Ayo kita bawa pulang sekarang!” Teriak seseorang yang lain lagi sambil berjalan mendekat.
”Tunggu dulu, jangan ada yang mendekat!” Teriak Pak Bayan menahan.
”Loh, emangnya kenapa, Pak?”
”Kita tunggu sampai semua warga kita kumpul!” Imbuhnya.
”Heleh, kelamaan! Udah jelas-jelas ini pasti sapi Kang Buwang kok. Mau tunggu apa lagi? Saya geret ya? Ya? Ya?” Ungkap seseorang yang lain lagi sambil mengiderkan mukanya.
”Jek, memang betul, sepertinya itu sapi Kang Buwang! Tapi kita juga harus memikirkan keselamatan kita. Bagaimana kalau maling itu masih ada di sekitar sini, dan mengintai keberadaan kita, lalu tiba-tiba menyerang dengan senjata api!” Kata Pak Bayan sambil menenangkan seluruh warga.
”Iya, betul..betul..betul!” Seseorang menirukan dengan gaya Upin Ipin.
”Loh, bukankah jumlah kita pasti lebih banyak dari mereka. Mengapa harus takut?”
”Bukan karena taku Jek! Tapi waspada!”
”Iya Jek! Waspada!”
”Iya, kita jangan konyol. Kamu mau tiba-tiba kamu didor? Maling-maling di sini enggak maen-maen loh, mereka bawaannya sejata api. Makanya, kita harus berhati-hati!”
Setelah semua warga berkumpul dan situasi dirasa aman, tak lamapun sapi di evakuasi.
”Pak Bayan!” Tanya seseorang yang paling tua di antara kami, ”Apakah mungkin kita pulang dengan berjalan kaki menuntun sapi ini?”
”Iya Pak! Lihat, kaki saya juga sudah lecet-lecet.”
”Tidak saudara-saudara! Kita akan istirahat dulu di kampung sebelah alas belukar ini. Kita nanti akan menyewa truk untuk membawa pulang kembali sapi ini.”
”Waduh! Saya lapar Pak Bayan!” Seorang yang lain mengalihkan pembicaraan.
”Huss! Semua juga lapar!”
”Tenang. Kita nanti akan memesan makanan di warung yang ada di sekitar kampung. Kang Buwang sudah mengamanatkan kepada saya, ada anggaran untuk sekedar sarapan buat kalian!” Kata Pak Bayan, menenangkan.
”Asyiik!!” Sahut mereka serentak.
”Kopi Pak?” Imbuh yang lainnya.
”Sama rokok juga?”
”Yang paling penting air minum!”
”Ya, semua nanti kita kondisikan. Yang penting, sekarang, mari kita bawa sapi ini ke pinggir kampung yang paling dekat. Sambil kita istirahat dulu di sana!”
Kami pun menuntun sapi itu di kampung tak jauh dari hutan. Sambil menunggu truk sewaan yang akan mengangkut kami, sapi diikat pada batang pohon kelapa. Semua warga duduk berserakan di bawah pohon yang rindang. Dan, setelah Pak Bayan mendata berapa jumlah warga yang ikut memburu sapi itu, ia beranjak dengan beberapa orang mencari makanan.
Seorang warga kampung yang berbaik hati mengantarkan air minum. Hm, semua langsung berebutan, termasuk saya. Gelas satu untuk beramai-ramai. Yang tak sabar menunggu giliran, cukup menenggak.
Matahari semakin naik ke atas. Truk yang dijanjikan akan mengangkut kami dan sapi itu belum juga datang. Tiba-tiba, Pak Bayan muncul bersama beberapa orang yang lainnya. Di tangannya sudah terlihat membawa banyak bungkusan. Tak banyak bicara, Pak Bayan langsung membagikannya satu persatu. Semua kebagian dengan rata. Bagian saya satu plastik air minum dan nasi bungkus—sayur nangka, tempe goreng, sambel dan kepala bandeng.
”Nyam..nyam..nyam,” saya pun meyantapnya begitu lahap.
”Nyam..nyam..nyam, uwenaak,” seorang yang lain, mengunyah dan menikmatinya sambil memegang buntut tongkol.
”Ya, uwenaak! Hoooiikk!” Bersendawa. Semua bersendawa. ”Hoooiikk!”
Langit pun semakin membiru. Gerombolan awan di atas langit mengintip dari ketinggian. Ya, mengintip wajah orang-orang kampung pemburu sapi yang berubah menjadi sumringah. Sumringah karena sudah kenyang. Kekenyangan malah. Ya, semua full battery.
”Hoooiik!”
Semua perut sudah kenyang. Sambil menunggu truk yang akan membawa kami pulang, secara seremonial ala acara penyambutan tamu, Pak Bayan sedikit memberikan sepatah kata.
”Saudara-saudara! Saya, atas nama sesepuh kampung dan mewakili keluarga besar Kang Buwang, mengucapkan banyak terimakasih. Tanpa ada saudara-saudara sekalian, sapi ini mungkin sudah tidak ada lagi. Untuk itu, kita bisa mangambil pelajaran dari peristiwa ini. Untuk menjaga agar kampung kita tetap aman dan tak selalu dijadikan incaran para maling. Nanti kita bikin kesepakatan. Ronda malam kita perketat, dan setiap malam Jum’at yang berjaga diwajibkan anak-anak remaja yang belum mempunyai isteri!”
”Loh, memangnya kenapa Pak Bayan, kok harus remaja?” Seorang di antara kami menimpali.
”Halah..pakai nanya!” Kata Pak Bayan.
“Maling-maling itu selalu saja bergerak setiap malam Jum’at!”
Semua terdiam dan saling melihat.
“Kenapa kok seperti pada heran?!” Tanya Pak Bayang setengah teriak.
“Mau dijelasin?”
Semua malah pada tertawa.
“Sunah, Pak Bayan! Sunaaaah!” Jawab warga berteriak kompak sambil tertawa kelakar.
“Setujuu!”
Tangerang, Selasa 22 Pebruari 2011
Penulis
Widi Hatmoko | Jurnalis dan Cerpenis
Penulis Buku “Perempuan Nocturnal”
Karya Cerpen dan Puisinya terangkum dalam buku “Senandung Wareng di Ujung Benteng” dan “Membaca Kota Lewat Kata”