JEJAK KATA, Tangerang – Konflik agraria kian merambah ke kerbagai daerah yang menyebabkan tergerusnya keadilan, terutama bagi masyarakat sekitar. Selain itu, konflik agraria kerap kali dilakukan oleh pemilik modal dengan dukungan kekuasaan.
Hal ini, yang terjadi pada polemik yang bermula pada pemagaran di tepi pantai sejauh 30,16 KM melintasi 6 kecamatan dan 16 desa di Kabupaten Tangerang.
Pernyataan itu disampaikan, Indri Damayanthi, ketua umum SEMMI Tangerang, menanggapi polemik pemagaran laut di pesisir utara Kabupaten Tangerang yang dinilai sebagai patok wilayah reklamasi.
Hari Desa Nasional, Pemkab Tangerang: Desa Sebagai Subyek Pembangunan
“Fakta yang terungkap disampaikan menteri ATR/BPN bahwa terdapat 263 HGB yang berada di atas laut di Desa Kohod Kabupaten Tangerang oleh perusahaan swasta yang terafiliasi dengan Agung Sedayu Group, saya menilai bahwa itu (pagar laut) adalah patok reklamasi yang akan digarap oleh perusahaan milik Agung Sedayu Group,” kata Indri Damayanthi yang juga founder Gerakan Pertiwi, Selasa (21/01/25).
Lebih lanjut, Indri Damayanthi menilai 537,5 hektar lahan laut yang diketahui sudah HGB tersebut, dinilai merupakan langkah pihak swasta untuk melakukan privatisasi ruang publik dan penguasaan atas kekayaan negara.
“Tidak boleh negara mendiamkan apalagi mendukung perusahaan yang hendak mengeruk keuntungan dan merugikan rakyat, penerbitan HGB pada laut di Kabupaten Tangerang perlu di cabut segera,” bebernya.
Selain itu, pihaknya menilai bahwa pemerintah tidak boleh memberikan HGB yang kepada pihak swasta.
“Jangan dikasih ke perusahaan harus diberikan (HGB) ke masyarakat seperti Suku Bajo di Sulawesi Tenggara, karena (perusahaan) orientasinya bukanlah kemaslahatan dan kemakmuran masyarakat, melainkan bisnis yang menguntukan sekolompok orang,” tegas Indri Damayanthi.
Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia Cabang Kota dan Kabupaten Tangerang mendesak Menteri ATR/BPN untuk segera mencabut HGB yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai kebermanfaatan dan keadilan sosial sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945. (*