EsaiJejak Kata

Memburu Otak dan Biang Kerok Pemagar Laut Utara Tangerang

×

Memburu Otak dan Biang Kerok Pemagar Laut Utara Tangerang

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI

SUDAH berminggu-minggu, tak juga muncul siapa otak dan dalang di balik pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir utara laut Tangerang.

Sebut saja Tarsin, yang mengaku nelayan tapi ternyata staf desa di pemerintahan desa Kohod. Atau, Sandhy Martha Praja, aktivis dari Jaringan Rakyat Pantura yang mengaku sebagai mahasiswa namun ternyata sudah drop out alias dikeluarkan dari kampusnya. Orang-orang ini tidak jelas juntrungannya tiba-tiba mengaku sebagai bagian dari pelaku pemagaran laut, yang entah mewakili siapa. Ditambah lagi Influencer Permadi Arya alias Abu Janda yang juga semakin ruwet, entah siapa yang menyuruh.

Karena, nyatanya ketika pagar-pagar itu dicabut, dibongkar, ratusan warga masyarakat dan nelayan bersuka cita ikut bahu-membahu melenyapkan pagar bambu ‘bedebah’ yang merintangi perahu-perahu mereka.

Entah, permainan macam apa ini. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, tidak ada satupun yang mau mengaku biang kerok pagar bambu sialan yang membuat geger seantero jagat negeri ini.

Padahal jelas, Kementrian ATR dan BPN-RI sudah mengungkap ada sertifikat HGB dan SHM, yang jelas-jelas sudah diketahui pemiliknya, tapi tak satu pun bisa mengungkap ‘kutukupret’ otak pemagaran cerucuk bambu di pesisir utara laut Tangerang itu.

DPR RI sudah mendesak, berkali-kali, sampai bosen ‘berteriak’ menagih siapa ‘cecunguknya’, tapi semua masih bungkam, diam tidak ada yang mengaku. Entah ngumpet kemana para begundal kawanan pengangkut, penancap serta otak yang mendalangi pagar cerucuk bambu 30,16 kilometer, yang bikin geger sampai ke pelosok negeri itu.

Rakyat masih terus menunggu, sampai mana drama pagar bambu di laut serta terbitnya sertifikat HGB perusahaan yang nama-namanya sudah jelas tersebut. Publik menunggu! Ini bukan sekadar pertunjukkan untuk menyenangkan rakyat nelayan, yang sejenak kedaulatannya dirampas oleh ulah manusia-manusia bedebah tak benyali itu. (*


PENULIS:
Paidjo Hadi Soemardjono
Seniman/Jurnalis/Pemerhati Sosial

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *