SETIAP daerah di Indonesia memiliki adat istiadatnya sendiri yang unik terkait pernikahan. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat misalnya, terdapat adat di mana calon mempelai pria menculik lebih dulu calon mempelai perempuan untuk mendapatkan restu dari keluarga perempuan. Menculik yang secara hukum adalah kejahatan, di NTB dianggap adat belaka.
Jawa Tengah memiliki adat istiadat adol dawet, di mana orang tua mempelai perempuan berjualan minuman dawet kepada para tamu dan kedua mempelai saat resepsi pernikahan. Para tamu membayar dengan pecahan genting atau kreweng (koin dari tanah liat), yang melambangkan harapan agar pasangan pengantin bisa bekerja sama dan saling membantu dalam membangun rumah tangga dan mencari rezeki.
Sulawesi Selatan, khususnya Makassar, kita punya adat pernikahan tiga bujang kakak beradik sekaligus di satu waktu dan tempat. Dari tiga contoh adat pernikahan ini semuanya merepotkan dan seperti mengabaikan kepraktisan. Masyarakat yang mengutamakan kepraktisan kebanyakan sudah meninggalkan adat atau tradisi yang merepotkan. Namun tidak sedikit yang masih setia menjalankannya walau kadang harus dengan memakan banyak biaya.
Film ‘Jodoh Tiga Bujang’ yang sedang beredar di jaringan bioskop XXI dan CGV sejak akhir Juni ini mengangkat adat istiadat pernikahan yang ada di Makassar. Dikisahkan tiga bersaudara, Fadly (Jourdy Pranata), Kifly (Christoffer Nelwan) dan Ahmad (Rey Bong). Mereka diminta oleh orang tua mereka untuk menikah bersamaan atau yang disebut kawin kembar, dengan alasan demi efisiensi biaya. Biaya pernikahan memang mahal apalagi di zaman sekarang yang apa-apa serba mahal dan komersil. Alasan yang masuk akal. Menikahkan sekaligus tiga anak bujang dalam waktu dan tempat yang sama jelas lebih praktis ketimbang menikahkan mereka satu persatu.
Persoalan muncul, ketika calon istri Fadly, Nisa, dijodohkan oleh orang tuanya dengan pria lain yang dianggap lebih mapan. Fadly mau tidak mau harus mencari calon pengganti, dia ia hanya diberi waktu singkat untuk menemukan pengganti, jika tidak, pernikahan kembar tersebut akan batal. Alur film ini m mengikuti upaya keras Fadly dalam mendapatkan pengganti di tengah tekanan waktu dan tradisi keluarga.
Film ini berhasil mengajak penonton merasa tegang dengan upaya Fadly mencari pengganti jodohnya. Fadly dengan situasi dan upayanya yang keras mampu menarik empati penonton. Tidak hanya itu, emosi penonton dibawa turun naik antara tegang dan ingin ketawa, berkat kehadiran dua temannya yang membuat suasana lebih cair.
Alur tidak hanya menyuguhkan persoalan yang dihadapi Fadly, tapi juga Kifly dan Ahmad yang menunjukkan bahwa setiap orang memiliki pertempuramya masing-masing. Ini yang membuat kisah jadi cukup meyakinkan. Akting para pemain pun patut mendapat apresiasi. Mereka luwes membawakan peran sebagai orang Bugis Makassar, baik dari logat bahasa maupun penampilan fisik. Termasuk tiga calon istri tiga bujang tersebut yang diperani Aisha Nurra Datau, Maizura, Barbie Arzetta, dan terutama aktor kawakan Cut Mini dan Arswendy Bening Swara yang berperan sebagai orang tua tiga bujang tersebut.
Secara visual film ini juga menarik, termasuk tentu saja lagu-lagu yang menghiasi film berdurasi Afran Sabran berdurasi 107 menit ini. Ada lagu milik Sheila On 7 dan Fiersa Besari yang muncul sangat tepat dengan adegan. Adegan romantisnya pun hadir secara natural tanpa pretensi drama yang berlebihan.
Kritik untuk film ini adalah cara pandang konservatif terhadap pernikahan. Seolah pernikahan satu-satunya jalan mendapatkan kebahagiaan. Tiga bujang yang notabene generasi milenial itu terlihat takluk begitu saja terhadap keinginan orangtua. Sebagai Gen Z mereka tidak kritis dan tak punya keberanian mengemukakan pendapat sendiri. (Aris Kurniaswan)






