JEJAK KATA, Kulon Progo – Suro merupakan salah satu bulan dalam penanggalan Jawa. Bulan Suro dimulai dari 1 Muharram dalam kalender Hijriah. Kalender sendiri Jawa merupakan sistem penanggalan yang dipakai oleh Kasultanan Mataram dibawah pimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma sekitar 1613-1645, yaitu penggabungan penanggalan Islam dengan penanggalan Saka yang diwarisi Agama Hindu.
Karena penanggalan Saka dianggap sangat bertentangan di masa Sultan Agung. Bulan pertama pada kalender Jawa adalah Suro. Kemudian Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Syawal, Sela, dan Besar.
Bagi Sebagian masyarakat, terutama Jawa, bulan Suro ini dianggap sebagai bulan kereamatr atau sakral.
Nah, bicara soal Bulan Suro, tepat pada malam Satu Suro atau dalam penanggalan Hijirian 1 Muharram, masyarakat Perbukitan Menoreh di Kabupaten Kulon Progo memiliki tradisi unik yang sampai saat ini masih dilestarikan. Mereka menggelar rangkaian kegiatan kirab dan jamasan di Puncak Suroloyo. Puncak Suroloyo adalah salah satu puncak tertinggi di Pegunungan Menoreh yang memiliki ketinggian 981 mdpl.
Di Puncak Suroloyo terdapat tiga buah gardu pandang yang secara umum disebut pertapaan, masing-masing memiliki nama Suroloyo, Sariloyo dan Kaendran. Selain itu, Bukit Suroloyo juga merupakan tempat yang menyimpan cerita legenda. Legenda ini mengkisahkan seorang Raden Mas Rangsang yang kemudian hari bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo, bertapa untuk menjalankan wangsit yang datang padanya.
Menurut Juru Kunci Suroloyo, Ki Surakso Kemat, tradisi kirab dan jamasan berawal saat wilayah Suroloyo mendapat titipan pusaka dari Keraton Ngayogyakarta, yaitu Tombak Kyai Manggala Murti dan Songsong Kyai Makuta Dewa. Kedua pusaka merupakan pemberian Sri Sultan HB IX, pada tahun 1986. Tradisi jamasan yang digelar sejak HB IX ini, masih terus dilakukan diturun-temurun setiap malam satu Satu Suro.
“Sejak tahun dititipkannya kedua pusaka itu, kami warga masyarakat menggelar acara tradisi jamasan setiap Satu Suro,” kata Ki Surakso Kemat.
Selain penjamasan pusaka, pada tradisi malam atu Suro, masyarakat di wilayah tersebut berkumpul di rumah Juru Kunci Suroloyo untuk melakukan tirakatan. Mereka melakukan doa bersama, memanjatkan rasa syukur dan harapan di tahun berikutnya. Tirakatan juga ditambah dengan kendhuri, yang disediakan warga sekitar.
Keesokan paginya, berlangsung rangkaian kegiatan yang dilanjutkan dengan upacara adat berupa kirab. Kedua pusaka tersebut ikut dibawa oleh sesepuh dan pemangku adat Puncak Suroloyo dengan dikawal bregodo menuju Sendang Kawidodarean. Sendang Kawidodaren sendiri menjadi lokasi utama jamasan. Kirab juga menghadirkan gunungan hasil bumi berupa jajanan pasar, bunga, sayur-sayuran dan buah-buahan.
Untuk diketahui, kekeramatan Bulan Suro juga menimbulkan kepercayaan bahwa bentuk-bentuk kegiatan seperti pernikahan, hajatan dan sebagainya tidak berani dilakukan oleh masyarakat di daerah gtersebut. Mereka memiliki anggapan bahwa bulan Suro atau Muharram merupakan bulan yang paling agung dan mulia. Karena terlalu mulianya bulan Suro, maka dalam sistem kepercayaan masyarakat dipercayai hamba atau manusia tidak kuat atau memandang terlalu lemah untuk menyelenggarakan kegiatan. (*






