EsaiJejak Kata

Teladan Seorang Tukang Mebel yang Kelak Menjadi Presiden

×

Teladan Seorang Tukang Mebel yang Kelak Menjadi Presiden

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI

JOKO Widodo alias Jokowi, adalah sosok fenomenal yang pernah membawa Indonesia dari usia 69 hingga 79 tahun, serta mengukir sejarah kemajuan bangsa. Meski gelombang politik terkadang tidak berpihak, namun tidak dipungkiri, Jokowi telah mengubah Indonesia. Jokowi juga representasi dari mayoritas rakyat di republik ini.

Seorang politisi yang juga aktivis 98, Adian Napitupulu, pada saat pencalonan Jokowi sebagai presiden pada Pemilu 2014, pernah menyampaikan bahwa sosok mantan Walikota Solo itu cukup mewakili mayoritas rakyat Indonesia.

“Kenapa saya pilih Jokowi, karena Jokowi seperti saya. Bukan anak menteri, bukan anak bangsawan, bukan anak pejabat, bukan anak jenderal, bukan anak orang kaya. Dia seperti saya, dia seperti kita yang ada di sini, bukan anak siapa-siapa. Kalau Jokowi bisa jadi presiden, anak kita juga bisa jadi presiden,” kata Adian Napitupulu yang videonya masih kerap muncul di akun-akun media sosial YouTube.

Pengakuan Adian Napitupul ini pun banyak di-aamiin-ni oleh rakyat Indonesia kala itu. Sampai akhirnya, pada Pemilu 2014 Jokowi mampu mengalahkan lawannya, Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, salah seorang menteri di era SBY sekaligus besan dari Presiden RI ke 6 tersebut.

Harus kita akui, latar belakang sebagai seorang tukang kayu atau pengusaha mebel, Jokowi banyak menarik simpatik masyarakat. Terlebih jika melihat sepak terjangnya di berbagai pemberitaan ketika ia menjabat sebagai walikota Solo atau gubernur DKI Jakarta. Blusukan ke pasar, kawasan-kawasan kumuh, bertemu rakyat keluar masuk gorong-gorong, ini semakin menambah kecintaan rakyat terhadap sosok Jokowi. Ditambah dengan penampilannya yang sederhana dan apa adanya.

Hal ini pula yang mengantarkan Jokowi kembali terpilih pada Pemilu 2019, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahudin Uno (Sandiaga Uno).

Dilansir dari channel YouTube Narasi (Nazwa Shihab), Jokowi mengaku awalnya tidak tertarik terhadap dunia politik, tapi takdir berkata lain. Ia menduduki dunia politik dengan sangat progresif.

Sebelum maju dalam Pilkada walikota Solo pada tahun 2002, Jokowi adalah ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo). Pada saat itulah, rekan-rekannya di asosiasi para pengusaha mebel tersebut berkeinginan Jokowi maju sebagai calon walikota Solo. Mereka menaruh harapan besar terhadap Jokowi untuk bisa mengembangkan kondisi ekonomi dan meningkatkan nilai pariwisata jika ia menjadi walikota Solo.

Mereka menganggap bahwa jika Jokowi adalah mereka, terutama para pengusaha menengah ke bawah. Mereka berkeyakinan akan terjamin kehidupannya jika Jokowi menjadi walikota. Karena Jokowi memiliki latar belakang yang sama-sama berasal dari seorang pengusaha kecil-kecilan. Dari dorongan itulah, pada akhirnya, di tahun 2005 ia terpilih menjadi wali kota Solo.

Ketika menjabat sebagai walikota Solo, banyak masyarakat yang merasakan keberhasilan Jokowi. Sampai akhirnya, keberhasilannya menata kota Solo itu terdengar oleh para petinggi partai politik di Jakarta. Hal ini pula yang mengantarkan pada babak baru seorang Jokowi mengarungi dunia politik di republik ini.

Jokowi diusung sebagai calon gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta, yang pada saat itu Basuki Thahaja Purnama alias Ahok menjadi wakilnya.

Belum satu periode menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, sepak terjang Jokowi menarik perhatian publik, terutama ketika ia keluar masuk gorong-gorong, blusukan ke pasar, terminal serta fasilitas umum lainnya dengan penampilan sederhana dan apa adanya. Hal ini membuat popularitas Jokowi semakin dikenal, dan mengundang simpatik masyarakat. Tidak hanya di Jakarta, tapi sampai ke penjuru daerah.

Elektabilitas Jokowi yang pada saat itu mengalahkan para politisi senior, membuat beberapa partai politik, terutama PDI Perjuangan yang telah mengantarkan karir politiknya dari daerah menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta, mendorongnya untuk maju dalam pemilihan presiden pada Pemilu 2014.

Jokowi terpilih menjadi presiden bersama wakilnya Jusuf Kalla. Jokowi terpilih menjadi seorang presiden, karena masyarakat menilai bahwa ideologi Jokowilah yang sejalan dengan ideologi mayoritas masyarakat Indonesia. Dari seorang pengusaha mebel sampai seorang presiden, Jokowi tetap stagnan dengan penampilan sederhana yang kini menjadi ciri khasnya.

Pada tahun 2019, Jokowi terpilih kembali menjadi presiden dan diwakili oleh KH. Ma’ruf Amin. Dalam periode kedua ini, Jokowi terpilih menjadi seorang presiden karena masyarakat menilai bahwa di periode sebelumnya presiden Jokowi mampu merealisasikan visi misinya dengan sangat baik. Tak hanya itu, Jokowi juga dominan pada ekonomi dan industri yang diwujudkan melalui pembangunan infrastruktur.

Tidak Pernah Mengeluh, “Kerja, kerja, kerja”

Dalam kepemimpinannya itu, kita tidak pernah mendengar berita bahwa presiden Jokowi mengalami sakit. Hal ini tentu membuat banyak masyarakat merasa takjub. Karena, kita tahu, menjalankan tugas sebagai seorang presiden tentu pekerjaan yang banyak menguran energi dan pikiran. Pun demikian, Jokowi tidak pernah mengeluh atau memberikan kabar sakit, atau keluhan lain terhadap kondisi yang dialami. Selalu segar bugar walaupun hanya merasakan tidur sehari tiga jam. Kondisi dan usianya yang semakin menua, ini tak membuat semangat sosok Jokowi menjadi surut.

Itu lah Jokowi, seorang tukang mebel yang di kemudian hari menjadi pemimpin besar di Republik Indonesia ini, tak pernah mengeluh, “Bekerja, Bekerja dan Bekerja” meskipun gelombang politik kerap tak berpihak kepada dirinya. Berbagai kritik hingga cercaan, sudah menjadi bagian dari perjalan yang tak lepas dari kepentingan banyak orang, dan ini harus ia hadapi.

Namun, apa pun itu, Jokowi telah mengukir sejarah baru dalam politik di republik ini. Dua kali bertarung dalam pemilihan presiden, dihadapkan dengan rivalitas yang itu-itu saja, dan hawa politik yang sangat membara, Jokowi mampu berekonsiliasi, bersama-sama dengan rivalnya membangun bangsa ini.

Lalu, ada yang menarik perhatian pada detik-detik berakhirnya masa jabatannya sebagai seorang presiden, yaitu ketika Jokowi melepaskan pin presiden-nya yang berada di dada kirinya. Ia lepaskan dengan sendiri. Walaupun moment ini sempat tak banyak yang menyadari, pada pelantikan presiden Prabowo, perilaku sederhana dari presiden Jokowi ini menuai banyak pujian dari masyarakat luas. Banyak yang merasa iba dan terharu melihat pin terakhir yang digunakan oleh presiden Jokowi pada saat itu.

Dalam kejadian ini, ajudan presiden Jokowi yang selalu melekat, Kompol Syarif Muhammad Fitriansyah, menjulurkan tangannya kepada Jokowi agar membantu mengamankan pin presidennya itu. Namun presiden Jokowi memilih untuk menggenggam dan menyimpannya ke sakunya sendiri di bagian dada. Ini bermakna bahwa ia mampu menjaga amanahnya dengan sangat baik, memberikan makna bahwa menjadi seorang pemimpin itu harus mawas diri dan mengisyaratkan bahwa semua orang berhak menjadi seorang pemimpin.

Selain hal itu, yang menarik perhatian publik adalah foto presiden Jokowi yang dipasang di dinding istana negara yang hanya memakai kemeja putih dan pin presiden. Hal ini sangat berbeda sekali dari presiden-presiden sebelumnya yang selalu mengenakan pakaian formal, jas. Foto tersebut memberikan makna bahwa presiden Jokowi merupakan presiden yang sangat sederhana pada masa kepemimpinannya.


Penulis :
Rita Nursyifa
Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) Serang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *