TIMUR Tengah, kawasan ini kerap kali digambarkan sebagai sumber konflik tanpa akhir. Namun sebenarnya, memahami dinamika politiknya memerlukan analisis yang lebih dalam. Sejarah, identitas, dan kepentingan yang saling bertentangan menjadi faktor utama, yang menyuburkan ketegangan di wilayah ini.
Salah satu akar konflik di Timur Tengah adalah warisan kolonial yang ditinggalkan setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman. Batas-batas negara yang ditentukan oleh kekuatan kolonial Barat, terutama Inggris dan Prancis, sering kali mengabaikan realitas sosial dan etnis di lapangan. Pembentukan negara-negara baru seperti Irak dan Suriah, yang dihuni oleh berbagai kelompok etnis dan agama, menciptakan ketegangan yang terus berlanjut. Ketidakpuasan terhadap pembagian ini menjadi bahan bakar konflik yang sering kali meluas ke skala yang lebih besar.
Konflik Israel-Palestina adalah salah satu contoh paling mencolok dari ketegangan yang ada. Sejak tahun 1948, ketika negara Israel didirikan, banyak warga Palestina mengalami pengusiran dan kehilangan tanah mereka. Ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat Palestina menciptakan rasa sakit yang mendalam, yang belum sepenuhnya terobati hingga kini. Meskipun ada berbagai upaya untuk mencapai perdamaian, seperti Oslo Accords, kenyataannya adalah bahwa situasi di lapangan terus memburuk, dengan pembangunan pemukiman Israel di wilayah yang diperebutkan dan tindakan represif terhadap warga Palestina.
Di Irak dan Suriah, kita melihat bagaimana ketidakstabilan politik bisa berujung pada kekacauan bersenjata. Invasi Irak pada tahun 2003 dan kekosongan kekuasaan yang ditinggalkannya menciptakan ruang bagi kelompok ekstremis untuk berkembang. Di Suriah, perang saudara yang dimulai pada 2011 melibatkan berbagai aktor internasional dan lokal, menghasilkan krisis kemanusiaan yang sangat mendalam. Dalam kedua kasus tersebut, rakyat sipil menjadi korban utama dari konflik yang tidak mereka pilih.
Rivalitas antara Iran dan Arab Saudi juga berkontribusi pada ketegangan di kawasan ini. Persaingan ideologis dan geopolitik antara keduanya sering kali terwujud dalam konflik proksi, seperti yang terjadi di Yaman. Intervensi Arab Saudi di Yaman telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah, dengan jutaan orang yang terpaksa mengungsi dan kekurangan akses terhadap kebutuhan dasar. Ini menunjukkan betapa krusialnya untuk memahami bagaimana rivalitas regional berdampak pada kehidupan sehari-hari rakyat.
Dalam pandangan saya, untuk mencapai perdamaian di Timur Tengah tidak mungkin dilakukan tanpa memahami konteks yang lebih dalam. Dialog yang inklusif, yang melibatkan semua pihak, termasuk kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan, adalah langkah awal yang esensial. Proses penyelesaian konflik harus mempertimbangkan keanekaragaman budaya dan sosial yang ada, serta menghormati hak asasi manusia.
Komunitas internasional harus berperan aktif dalam mendukung proses ini. Namun, dukungan tersebut harus dilakukan dengan cara yang adil dan transparan, bukan sekadar sebagai penengah, tetapi sebagai mitra yang berkomitmen untuk menciptakan keadilan. Hanya dengan pendekatan yang holistik, kita dapat berharap untuk menemukan solusi yang berkelanjutan dan mengakhiri siklus konflik yang telah berlangsung terlalu lama.
Kita tidak dapat memandang Timur Tengah sebagai kawasan yang statis dan homogen. Sejarah, identitas, dan aspirasi masyarakatnya sangat kompleks dan beragam. Memahami dinamika ini adalah langkah pertama untuk membangun masa depan yang damai dan stabil. Dengan mengedepankan dialog, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, kita dapat membuka jalan menuju solusi yang lebih baik dan berkelanjutan untuk semua pihak yang terlibat.
Penulis:
Muhammad Arifin Ilham
Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang