BERBAGAI kasus korupsi yang menyeruak di republik ini, didominasi oleh oknum-oknum yang berkaitan dengan partai politik (Parpol). Baik yang menduduki jabatan politik di ekskutif maupun di legislatif. Oknum gubernur dan wakil gubernur, oknum bupati dan wakil bupati, oknum walikota dan wakil walikota, oknum di kementrian serta oknum wakil rakyat, dari tingkat daerah hingga tingkat pusat.
Mereka yang harusnya bekerja untuk rakyat, baik dalam menyuarakan aspirasi maupun mengambil kebijakan, justru malah menyalahgunakan suara rakyat yang mengantarkannya ke kursi jabatan politiknya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kalau sudah begini, partai politik tidak lagi sebagai kendaraan untuk mengakomudir kepentingan rakyat.
Kalau penulis boleh beropini, melihat fenomena yang terjadi di republik ini, tidak menutup kemungkinan, cepat atau lambat partai politik bisa menjadi alat para elit di dalamnya untuk mengendalikan sumber daya alam yang ada di republik ini. Indikasi ini sudah mulai terlihat dari berbagai kasus yang muncul: korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para oknum elit partai politik. Dan, itu cukup menunjukkan bahwa lembaga yang menjadi kendaraan penyalur aspirasi, saat ini, banyak dihinggapi oleh para benalu untuk mengakomudir kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Kita ambil contoh beberapa kasus korupsi yang populer di republik ini. Mulai dari oknum yang datangnya dari gerbong partai Demokrat pada era presiden SBY, yaitu kasus yang menjerat Angelina Sondakh, M. Nazarudin, Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng dan menyeret beberapa tokoh lainnya. Lalu dari partai Golkar yang menjerat Setya Novanto, Idrus Marham dan lain sebagainya.
Di era presiden Jokowi, yang kala itu menjabat presiden diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Partai ini juga menambah data panjang para elit partai yang terjerat kasus korupsi. Mulai dari kasus Harun Nasiku, Juliari Peter Batubara atau Juliari Batubara yang saat itu menjabat sebagai menteri sosial, hingga kasus-kasus yang mejerat elit politik itu di tingkat daerah.
Belum lagi kasus daging sapi oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) beberapa tahun silam, anggota DPR RI dari PPP dan lain sebagainya. Ini sebagai bukti bahwa partai politik yang seharusnya menjadi kendaraan untuk mengakomudir kepentingan rakyat banyak dihinggapi benalu-benalu politik yang mengkhianati suara rakyat.
Belum lagi persoalan masih banyaknya janji politik yang hanya tinggal janji, hal ini tentu membuat masyarakat atau rakyat kecewa. Hal ini semakin berdampak terhadap kepercayaan masyarakat akan partai politik menjadi semakin rendah. Sampai sekarang pun, bukan sedikit partai politik yang kemudian tidak dipercayai oleh masyarakat karena eksistensi partai banyak dihuni oleh para benalu politik yang mencari keuntungan semata, memperkaya diri sendiri.
Sehingga, tidak heran jika ada masyarakat yang fanatis akan partai politik tersebut yang pada akhirnya fanatismenya pudar, kemudian menjadi apatis, bahkan tidak mau menggunakan hak pilih alias memilih golput alias golongan putih.
Performa partai politik dalam pemilihan umum (Pemilu) sampai dengan pilkada kepala daerah (Pilkada) dapat menjadi pembuktian seberapa besar pengaruh yang telah digaet oleh para partai politik untuk mendapatkan suara rakyat. Karena, kehilangan kepercayaan rakyat artinya kehilangan suara, atau kehilangan dukungan. Budaya demokrasi seperti inilah yang kemudian mendorong masyarakat menjadi lebih rasional dalam hal memilih.
Fenomena Golongan Putih ini juga cerminan dari bagaimana bobroknya pengelola partai politik dalam menentukan kandidat yang maju dalam Pemilu maupun Pilkada. Calon kandidat yang maju bahkan dipilih berdasarkan popularitas saja tanpa pemilihan kandidat yang berdasarkan aspek-aspek penting. Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat menjadi tidak mau untuk memilih, karena kandidatnya orang-orang yang hanya memiliki gimik semata dan tidak memiliki track record yang baik dalam pemerintahan. Sekitar 35 persen sampai 45 persen golongan putih (golput) terjadi di pemilihan kepala daerah yang berlangsung, yakni di pilkada Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan Jawa Tengah. Angka tersebut cukup mencemaskan.
Pemilihan yang terjadi diberbagai daerah tersebut pastinya menentukan bagaimana daerah tersebut dipimpin kedepannya. Salah satu faktor adanya golongan putih ialah faktor fanatisme, dimana masyarakat hanya akan memilih jikalau ada partai politik yang didukung. Jikalau partai politik yang didukung tidak mencalonkan kandidat, biasanya masyarakat lebih memilih menjadi golongan putih karena merasa kandidat dari partai politik lain tidak dapat dipercaya. Ini berujung pada ke apatisan warga dalam menggunakan hak pilih. Bukan hanya itu, faktor lainnya ialah karena kandidat dalam pemilihan, sebelumnya mengalami kasus korupsi ataupun skandal lain sehingga masyarakat tidak mau memilih kandidat tersebut. Selanjutnya ialah karena adanya faktor ketidaksesuaian dalam kandidat yang diinginkan oleh masyarakat. Sehingga masyarakat yang apatis, tidak peduli akan siapapun calonnya karena merasa tidak melihat adanya relativitas pada kandidat.
Partai politik harusnya paham bahwasanya calon dengan kredibilitas ataupun kapabilitas yang baik, dan berintegritas akan membuat Pemilu dan Pilkada jadi lebih menarik dan trusted. Masyarakat pasti tidak lagi enggan memilih karena merasa kandidatnya berkualitas dan tidak serta merta hanya memiliki popularitas semata.
Relevansi antar visi misi kandidat dengan partai politik hendaknya juga harus berkesinambungan, karena kinerja dari kandidat setelah terpilih menjadi seorang pemimpin, adalah representasi dari partai politik yang mengusungnya. Untuk itu, sebisa mungkin partai politik menjauhi skandal politik yang dapat merusak citra partai politik. Selanjutnya ialah harus adanya kesungguhan partai politik dan kandidat dalam memenuhi segala bentuk janji kampanye pasca terpilih.
Kepercayaan masyarakat dapat kembali, serta golongan putih angkanya akan turun jika memang para pengelola partai politik bekerja dengan semestinya dan bukan menjadi antek-antek para elit untuk kepentingan pribadi. Selain itu, para aparat hukum juga harus tegas, sehingga kondisi seperti ini tidak terus-menerus berlanjut.
Terkait hal ini, aparat penegak hukum juga memiliki peran yang kuat, terutama yang berkaitan dengan praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, harus tegas memberantas. Karena dengan pemerintahan yang bersih, jauh dari korupsi kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para benalu politik yang bercokol dan berlindung dalam lingkaran partai politik, ini akan membangun kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.
Penulis
Jazia Berliani
Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta)






