SAMPAH menjadi persoalan paling krusial di Kabupaten Tangerang. Bayangkan saja, daerah yang berjuluk Kota Seribu Pabrik ini, dalam sehari bisa memproduksi 2.500 sampai 3.000 ton sampah, baik organik maupun anorganik.
Sampah yang dihasilkan bukan saja dari limbah rumah tangga, industri, kawasan-kawasan komersial seperti pasar, pusat perbelanjaan, mall, minimarket, wisata serta lembaga atau instansi pemerintah dan non-pemerintah. Tapi, masyarakat pendatang yang sekadar singgah, bertemu rekan bisnis, bertamu atau dengan berbagai kepentingan di daerah ini juga menjadi penyumbang sampah.
Nah, bicara soal sampah di Kabupaten Tangerang dengan jumlah cukup besar serta penanganan yang sangat minim, ini akan mempertinggi gunungan sampah di tempat pembuangan akhir, Jatiwaringin. Sementara, penanganan dari pemerintah daerah yang paling menonjol baru sebatas bagaimana bisa memindahkan sampah-sampah yang berserakan di pinggir-pinggir jalan atau tempat-tempat pembuangan sampah sementara dengan kendaraan yang sangat terbatas.
Bayangkan saja, hanya sekitar dua ratusan lebih armada truk pengangkut sampah yang dimiliki oleh pemerintah daerah, yang dalam hal ini Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DLHK). Mampukah dua ratusan armada truk itu menggeser ribuan ton sampah yang dihasilkan setiap harinya? Tentu tidak!
Persoalan pun muncul, kritik dimana-mana. Tempat pembuangan sampah liar menjadi paling tertuduh. Dinas terkait sebagai stakeholder pemerintah ikut menjadi sasaran, karena dinilai abai dan lalai dalam pengawasan.
Wakil rakyat di daerah, pengamat, pemerhati dan penggiat lingkungan menjadi corong paling bernada tinggi dalam mengkritisi persoalan ini.
Namun, apakah kritik itu ‘ujuk-ujuk’ bisa langsung menyelesaikan persoalan yang semakin hari semakin ruwet? Tentu juga tidak semudah itu!
Kritik hanya sebagai sarana untuk membuka semua pemikiran para pemangku kebijakan untuk berfikir, melihat secara jelas persoalan, bereksperimen untuk melakukan tindakan, atau melakukan tindakan dengan kesiapan yang sudah disiapkan, kalau kesiapan itu sudah disiapkan. Bagaimana jika tidak? “Wasalam, bablas angine”.
Sepanjang saya melakukan peliputan di daerah ini, sekitar sepuluh tahun yang lalu, problem sampah ini sudah ada. Begitu, begitu ya begitu saja. Berputar-putar di situ-situ saja. Sampai akhirnya, tumpukan sampah yang kian hari kian menggunung di tempat pembuangan akhir, semakin ‘sepat’ dipandang mata. Sampai bau menyengat meluas ke segala arah, belum ada titik temu yang jitu untuk menaklukan sampah-sampah di daerah satelit Ibu Kota ini.
Perlu Kesadaran dan Inovasi
Pesatnya perkembangan teknologi yang bisa dengan mudah menjangkau akses informasi, mestinya bisa menjadi pintu memecahkan berbagai persoalan yang berkaitan dengan sampah. Melihat progresif negara sebelah dalam perang menaklukan sampah, tidak harus melancong ke negara sebelah, atau studi banding dengan banyak biaya.
Atau, mungkin tidak perlu jauh-jauh ke negara sebelah yang punya pulau reklamasi terbuat dari sampah. Cukup plesiran sambil makan mendoan, kita bisa belajar dari rakyat Cilacap.
Di Desa Brebeg, Kecamatan Jeruk Legi, Kabupaten Cilacap, bisa menjadi contoh keberhasilan pengelolaan sampah. Di desa ini, sang kepala desa atau Kades, memimpin perubahan dalam pengelolaan sampah. Dengan visi dan kepemimpinan yang kuat, ia mengajak masyarakat desa untuk berpartisipasi aktif dalam pengolahan sampah.
Salah satu inovasi yang cukup menarik adalah sampah yang tidak dapat didaur ulang atau diolah lebih lanjut, seperti sampah plastik yang sulit terurai, digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Cilacap memanfaatkan sampah sebagai bahan baku dalam pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). PLTSa ini adalah salah satu sarana yang mengubah sampah menjadi energi listrik yang dapat digunakan oleh masyarakat desa.
Atau di daerah-daerah lain yang memanfaatkan sampah anorganik menjadi campuran bahan material untuk membuat genting, batako atau paving blok.
Nah, jika daerah berjuluk Kota Seribu Pabrik ini mau memulai dari hal-hal yang sepele, berani bereksperimen untuk berinovasi, sampah-sampah yang setiap hari dianggap sebagai biang kerok ini, perlahan-lahan akan bisa ditaklukkan. Atau, wakil rakyat membuat satu regulasi yang tepat, tidak sekadar memberikan sanksi administrasi kepada pelaku pembuang sampah sembarangan.
Karena, problem sampah yang dihadapi oleh Kabupaten Tangerang saat ini, bukan serta-merta karena minimnya kesadaran masyarakat atau kelalaian dari pemerintah, tapi karena tidak adanya inovasi baru, atau teknologi yang mampu meleburnya menjadi barang yang bermanfaat, serta payung hukum yang dijadikan sebagai landasan.
Jika kita melihat dari Cilacap serta beberapa daerah yang sudah mulai bereksperimen, berinovasi menjadikan sampah anorganik sebagai campuran bahan material, cepat atau lambat, proplem sampah akan terkikis. Dan, proyek pembangunan di republik ini tidak melulu mengambil material sepenuhnya dari perut bumi. Sehingga, pembangunan berjalan, sampah tertaklukan, dan bumi terselamatkan!
Penulis:
Paidjone Hadi Soemardjono
Seniman/Pemerhati Sosial






