JIKA menengok ke belakang, yaitu pada era orde baru (Orba), demonstrasi lah yang kemudian dapat mengakhiri masa pemerintahan era otoriter Soeharto. Kala itu, mahasiswa dari 30 kampus di Indonesia lah yang menginisiasi pergerakan demo 1998, yang kemudian menjadikan Soeharto mundur dari kedudukannya sebagai presiden yang menjabat selama 32 tahun.
Kala itu Soeharto tidak dapat menyelesaikan permasalah ekonomi di Indonesia, dimana angka inflasi dan mata uang rupiah semakin tinggi. Ini membuat masyarakat semakin geram. Keadaan yang semakin ‘chaos’ membuat mahasiswa yang memang sedari awal peduli akan politik kala itu mulai menyuarakan suaranya.
Perkara inilah yang kemudian menunjukan bahwasannya era otoriter sekalipun tidak dapat menghalangi masyarakat untuk didengar dikalau semua element masyarakat berani mengkritisi pemerintahan yang diluar konsep demokrasi. Tapi, apakah harus ada yang namanya demonstrasi setiap saat jika para pemerintah terus-menerus membuat kebijakan-kebijakan yang tidak disenangi? Tentu saja hal tersebut juga tak akan memungkinkan bagi berbagai kalangan masyarakat.
Pada era sekarang ini, sikap kritis terhadap pemerintah tidak hanya dapat dilakukan di depan DPR, tapi juga melalui media sosial. Dari sini lah, kita dapat dengan mudah mengkritisi pemerintahan di republik ini. Namun sayang, masyarakat sekarang tidak lagi sepeduli itu dengan yang namanya politik, cenderung abai akan isu-isu yang berkembang di negara ini. Sikap kritis yang tidak seramai dan seriuh pasca runtuhnya orde baru, bisa menyebabkan demokrasi tidak dijalankan dengan sepatutnya.
Generasi hari ini, tidak sama dengan generasi-generasi terdahulu yang kala itu melahirkan era Reformasi. Rendahnya keikutsertaan akan aktivitas politik hari ini melahirkan prosedur yang semena-mena. Pun karena hal itu, kebijakan yang semena-mena inilah yang kemudian melahirkan generasi yang memilih untuk menjadi Apatis. Tidak sedikit bermunculan orang-orang yang menyalahi pemanfaatan media sosial sebagai sarana kesesatan dalam penyebaran informasi perihal politik. Sehingga membuat generasi muda kini lebih memilih Apatis.
Di balik hal tersebut, media sosial juga memiliki peran penting dalam penyebaran informasi mengenai kebijakan pemerintah maupun informasi penting lainnya perihal politik. Kini informasi penting dapat disebarkan dengan mudah, serta dapat dengan mudah menggaet perhatian masyarakat, apalagi generasi muda.
Misalnya saja kasus Revisi UU Pilkada kemarin, yang mana membuat sejumlah massa bergerak turun ke jalanan untuk melangsungkan demonstrasi. Rasanya tidak jauh berbeda dengan demonstrasi 1998, demonstrasi yang dilakukan kemarin pertanggal 22 Agustus 2024 juga membuat khalayak masyarakat merasakan hal yang sama, dimana aparat kepolisian melakukan tindakan keji, dan berlebihan. Seperti halnya menggunakan pentungan, meriam air hingga gas air mata hanya untuk membubarkan massa yang mencoba menyuarakan keluhannya akan pengesahan Revisi UU Pilkada. Tidak jauh berbeda jika melihat kembali ke era Orba, yang mana saat itu perlakuan keji dilakukan oleh para TNI.
Demonstrasi yang dipicu oleh ‘Peringatan Darurat’ juga tidak terjadi hanya di Jakarta saja, melainkan di Banten juga. Tetapi jumlah orang-orang yang melaksanakan demonstrasi, masih dapat terbilang sedikit bahkan dilakukan secara bergantian. Mahasiswa sekarang bahkan tidak ada sampai 5 persen yang turun ke jalan dari total seluruh mahasiswa Indonesia untuk melakukan kritisasi. Mencirikan tidak semua masyarakat Indonesia khususnya di Banten peduli dengan apa yang terjadi.
Masyarakat dan mahasiswa di Banten khususnya di Serang ini, kebanyakan tergerak untuk peduli akan kasus tersebut karena fear of missing out (Fomo) dengan masalah yang ramai dibahas. Namun, setidaknya demontrasi kemarin menunjukan ternyata masih ada yang peduli dengan kondisi politik di Indonesia oleh masyarakat maupun mahasiswa di Banten.
Ini menjadi pengingat untuk kita agar tidak takut akan rezim manapun, negara kita ini demokrasi dimana rakyat adalah suara yang harusnya paling didengar. Peduli akan politik bukan suatu hal yang memalukan, bahkan ketika kita merasa hanyalah bagian dari orang-orang yang Fomo itu, malu lah ketika Apatis itu mulai marak, dimana artinya tidak akan ada lagi suara masyarakat kecil seperti kita dapat terdengar. Rezim otoriter seperti halnya Soeharto pun dapat diakhiri jika berani untuk kritisi segala bentuk kebijakannya. Aparat-aparat yang kejam pun dapat ditaklukan bila ada tekad dari kebersamaan. Tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi, termasuk pembodohan disini. Maka, membiarkan Apatisme merajalela ialah indikasi bahwasannya kita membiarkan bad people run democracy. Jangan sampai hal tersebut terjadi!
Biografi Penulis
Jazia Berliani
Lahir, Lebak 05 Januari 2007
Mahasiswi Pengantar Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik dengan program studi Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa, Serang, Banten.
Email: jaziaberliani@gmail.com






