BAYANGKAN, jika dalam sebuah negara biaya bukan lagi hambatan. Anak-anak bersekolah, masyarakat berobat dan para lansia bisa menikmati hari tua dengan tenang, karena negara menjamin kehidupan mereka. Hal ini dapat diwujudkan dengan sebuah konsep negara yang disebut Welfare State atau negara kesejahteraan. Sekolah gratis dan jaminan kesehatan bukan hanya sekadar angan-angan atau mimpi belaka.
Gagasan negara kesejahteraan sendiri telah menjadi realitas yang diterapkan melalui sistem sosial yang kuat dan kebijakan politik yang berpihak kepada rakyat, seperti yang telah diterapkan di banyak negara maju, seperti Jerman, Swedia dan Kanada.
Namun, mari kita menengok ke dalam negeri sendiri. Indonesia, dengan jargon pembangunan dan mimpi besar menjadi negara maju pada 2045, apakah sudah berada di jalur yang benar menuju negara kesejahteraan?
Pasti kalian berpikir “ya” karena program bantuan sosial seperti PKH, BPNT, KIP, atau BPJS Kesehatan telah tersebar luas. Tetapi perlu dicermati, apakah program tersebut cukup untuk menyebut Indonesia sebagai welfare state atau kita hanya berada di persimpangan jalan yang belum jelas arahnya?
Sebelumnya, Walfare State merupakan sebuah model tata kelola negara yang bertujuan untuk menjamin kesejahteraan sosial bagi seluruh warganya melalui keterlibatan aktif pemerintah dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Konsep negara kesejahteraan ini berkembang akibat ketimpangan ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh kapitalisme tidak terkendali. Oleh karena itu di sini negara hadir untuk mencari jalan tengah antara perluasan ekonomi yang pesat dan jaringan pengaman sosial yang menyeluruh, supaya setiap warga negara dapat memperoleh manfaat.
Negara berperan aktif, bukan sekadar sebagai penyedia Bansos, melainkan sebagai pengatur distribusi kesejahteraan agar tidak hanya terkonsentrasi pada segelintir elite.
Sejatinya Welfare State tidak hanya tentang memberi bantuan sesekali, melainkan tentang jaminan struktural terhadap hak-hak dasar warga negara seperti dalam hal pendidikan, kesehatan, lingkungan sosial, dan pekerjaan layak. Misalnya di Swedia yang mampu membiayai berbagai layanan publik seperti kesehatan gratis, pendidikan gratis, subsidi perumahan dan tunjangan anak universal.
Swedia juga memiliki sistem pajak yang progresif, di mana meskipun pajak di sana tinggi namun kesejahteraan masyarakatnya terjamin. Hal ini menunjukkan bahwa beban pajak yang tinggi bukanlah masalah selama negara mampu mengelolanya untuk kembali ke rakyat dalam bentuk layanan yang adil dan merata.
Sistem seperti ini menciptakan rasa kepercayaan publik terhadap negara, karena masyarakat merasakan langsung manfaat dari kontribusi mereka. OECD mencatat bahwa rasio ketimpangan di Swedia (Gini coefficient) hanya sekitar 0,28 jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia yang stagnan di angka 0,379 menurut BPS (2024).
Selain Swedia, Jerman juga mampu menjaga daya saing sekaligus memberikan rasa aman bagi warganya melalui sistem asuransi sosial berbasis kontribusi dan pelatihan vokasional yang terintegrasi dengan kebutuhan industri. Selain itu, Jerman juga terbukti mampu menjaga stabilitas ekonomi saat mengalami krisis melalui kebijakan seperti Kurzarbeit, yakni subsidi upah untuk pekerja terdampak. Hal ini menunjukan tekad kuat Jerman terhadap kesejahteraan.
Di sisi lain, Kanada juga menempatkan jaminan sosial sebagai pilar utama, meskipun tetap berpijak pada sistem ekonomi pasar dengan memberikan program seperti universal healtcare dan tunjangan anak yang membantu jutaan keluarga keluar dari jerat kemiskinan.
Berdasarkan data OECD, tingkat kemiskinan anak di Kanada kini berada di bawah 10 persen. Bukti keseriusan ketiga negara ini terhadap kesejahteraan dapat dilihat dari pengalokasian PDB yang mencapai 20-27 persen untuk belanja sosial. Sementara belanja sosial Indonesia hanya sekitar 1,4–2 persen dari PDB, jauh di bawah standar OECD yakni rata-rata 20 persen (OECD, 2022). Artinya, meskipun bansos sering terlihat di permukaan, dari sisi struktur dan keberlanjutan fiskal, Indonesia belum mampu membangun Welfare System yang kokoh.
Jika kita melihat Indonesia, sebenarnya telah meletakkan fondasi negara kesejahteraan sejak awal. Pasal 34 UUD 1945 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Berbagai program seperti BPJS Kesehatan, Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Program Keluarga Harapan (PKH) adalah upaya untuk menjawab amanat tersebut.
Namun, realitas yang ada saat ini masih cukup jauh dari harapan, kesenjangan sosial justru semakin melebar, realitanya di Indonesia 1 persen orang terkaya masih menguasai hampir 50 persen kekayaan nasional (Oxfam, 2023). Ironisnya, di saat yang sama, jutaan rakyat masih bergantung pada bansos untuk bertahan hidup, BPS (2024) mencatat bahwa 9,03 persen penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Salah satu penyebab mengapa program bantuan sosial yang diluncurkan ini belum dapat menutupi ketimpangan kemiskinan di Indonesia adalah karena pengalokasian program bantuan sosial tersebut belum tepat sasaran akibat lemahnya sistem data dan koordinasi antar lembaga, bahkan Bappenas mencatat sekitar 46 persen penerima bansos bermasalah atau tidak tepat sasaran. Ini menunjukkan bahwa sistem perlindungan sosial kita masih lemah secara fundamental, lebih bersifat kuratif ketimbang preventif.
Lebih lanjut, sistem perpajakan Indonesia hingga saat ini belum mencerminkan prinsip keadilan, di mana penyumbang terbesar penerimaan negara itu didominasi oleh pajak konsumsi seperti PPN yang justru membebani masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara itu, pajak dari korporasi besar dan kelompok kaya justru banyak yang mengalami kebocoran. Menurut Tax Justice Network (2023) Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp 70 triliun setiap tahun akibat praktik penghindaran pajak. Artinya, peran negara dalam menjalankan fungsi redistributifinya belum optimal.
Pendekatan kebijakan yang masih tambal sulam juga menjadi permasalahan lain di Indonesia, di mana bantuan sosial bukan menjadi bagian dari sistem yang terintegrasi tapi seringkali hanya bersifat politis dan reaktif. Mimpi kita adalah Indonesia emas 2045, namun melihat dari kondisi Indonesia saat ini di mana pendidikan dan kesehatan itu masih sangat timpang antara kota dan desa, kaya dan miskin, Jawa dan luar Jawa, serta tidak ada jaminan sosial menyeluruh yang melindungi warga dari risiko kehilangan pekerjaan, kecelakaan kerja, atau pensiun layak.
Hal ini justru membuat mimpi Indonesia emas 2045 itu terasa seperti narasi yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Jangankan menjadi Indonesia emas 2045, untuk menjadi negara yang sejahtera aja kita masih banyak tantangannya seperti reformasi struktural, pemerataan akses layanan dasar, dan komitmen politik yang konsisten untuk menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai orientasi utama pembangunan.
Pembangunan bukan hanya tentang jalan tol dan bandara yang megah, tapi juga tentang manusia yang sehat, cerdas, dan terlindungi, tanpa itu semua kita tidak akan bisa melangkah menjadi negara maju jika fondasi sosial kita rapuh. Negara kesejahteraan bukanlah beban fiskal, melainkan investasi sosial jangka panjang. Transformasi ekonomi hanya dapat dicapai jika rakyat ikut naik kelas bersama, berpartisipasi, bukan hanya sekedar menjadi penonton pertumbuhan, seperti yang telah ditunjukkan beberapa negara maju salah satunya Korea Selatan.
Indonesia tidak kekurangan sumber daya, tetapi seringkali kekurangan kemauan politik. Padahal, sejarah telah mengajarkan bahwa negara-negara maju membangun sistem kesejahteraannya bukan dalam kondisi surplus, melainkan di tengah krisis. Seperti Swedia yang bangkit pasca-Perang Dunia, dan Jerman yang membangun kesejahteraan sambil memulihkan ekonominya dari reruntuhan, bahkan Brasil dan Meksiko telah memulai reformasi sistem jaminan sosial meski berada di tengah keterbatasan fiskal. Artinya, persoalan kita bukan soal bisa atau tidak, tapi mau atau tidak.
Sebagaimana Bung Karno pernah berpesan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.” Maka, mari kita berhenti menghibur diri dengan statistik bansos yang belum tentu efektif. Sudah saatnya kita bertanya dengan jujur: apakah negara hadir sebagai pelindung, atau hanya sekadar pemberi harapan palsu yang dibungkus dalam program populis?
Penulis: Syafaatunnisa
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik_Program Studi Ilmu Pemerintahan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Sumber: medcom.id, LPM Display, Trust Banten






