SANGAT kompleks persoalan yang dihadapi petani di negeri ini. Mulai dari masalah permodalan, permainan tengkulak, kelangkaan pupuk, lahan pertanian yang menyempit hingga kelangkaan sarana produksi pertanian. Masalah lain yang lebih mengancam adalah terganggunya regenerasi petani, perubahan iklim, dan alih fungsi lahan juga menjadi isu penting yang menjadi tantangan masa depan pertanian di Indonesia.
Masalah-masalah itu berkaitan satu sama lain, berkelindan begitu rupa sehingga nyaris membuat putus asa dari mana untuk mulai membenahinya. Sehingga bagi petani mereka terus bekerja hanya demi bertahan hidup. Pemerintah sendiri terkesan tidak terlalu serius untuk mengurusi pertanian, terlihat dari produksi pertanian yang tidak meningkat dari tahun ke tahun baik secara kwantitas, dan terutama kualitas. Kesejahteraan petani yang rendah. Produk-produk pertanian kita kalah bersaing dengan produk dari bahkan negeri-negeri tetangga yang pada masa lalu belajar pertanian dari Indonesia.
Alih-alih menjadi isu penting yang mendapat perhatian serius, masalah petani dan pertanian terlupakan dan lindap dalam perbincangan di tengah masyarakat. Apalagi dalam dunia pop dan anak-anak muda perkotaan.
Karena itu kita patut bersyukur ada film “Seribu Bayang Purnama” garapan Yahdi Jamhur yang mengangkat tema tentang petani dan pertanian. Sebuah tema yang sangat asing, tidak populer dalam dunia perfilman. Di tengah dominasi genre horor dan komedi, film drama keluarga yang secara khusus menggarap tentang petani dan pertanian jelas seperti oase yang menyegarkan.
“Seribu Bayang Purnama” berkisah tentang Putro Hadi Purnomo (Marthino Lio), seorang pemuda yang kembali ke kampung halaman setelah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Pertanian. Dia bertekad membangun desanya dengan metode pertanian modern. Namun tekadnya ditolak oleh sebuah keluarga, sampai tiba sebuah momen yang tepat untuk menunjukkan tekadnya yang baik untuk memajukan desa dan para petani. Momen itu adalah kompetisi pertanian. Kompetisi ini menghadap-hadapkan metode pertanian yang ramah lingkungan dan yang merusak alam.
Dunia petani di sebuah desa yang kita bayangkan tenteram damai ternyata penuh intrik dan persaingan yang tidak sehat. Persoalan semakin rumit saat Putro Hadi Purnomo justru jatuh hati kepada Ratih (Givina), putri dari keluarga rivalnya sendiri. Cinta yang tumbuh antara Putro dan Ratih menciptakan gejolak batin dan dilema moral yang mendalam.
Film ini secara eksplisit pertarungan antara petani yang memilih menggunakan pestisida kimia buatan pabrik dan mereka yang beralih ke metode organik. Putro Hadi Purnomo yang ingin membuat perubahan lewat pertanian sistem organik tetap gigih memperkenalkan pertanian yang tidak mengeksploitasi alam. Hal ini yang menyebabkan Putro Purnomo harus berhadap-hadapan dengan Dodit Wiroyudo (Aksara Dena).
“Seribu Bayang Purnama” menyajikan gambar-gambar yang indah alam pedesaan yang menyegarkan bagi masyarakat yang sehari-hari hidup di perkotaan yang sumpek. Lewat gambar-gambar alam pedesaan yang hijau film ini ingin mengajak penonton untuk menjaga keseimbangan alam sekitar.
Ada juga konflik keluarga yang timbul setelah Ratih mulai sejalan dengan gaya Putro dalam menggunakan pupuk dan pestisida alami. Bedanya pandangan dengan keluarganya pun menjadi konflik yang tak bisa terhindarkan. Apalagi ditambah dengan kedekatan Putro dan Ratih.
Selain masalah serius tentang alam dan pertanian, “Seribu Bayang Purnama” juga diselipi adegan dan dialog yang mengundang senyum dan, jangan lupa drama romantis kisah perjuangan cinta Ratih dan Putro yang berliku. Penonton dijamin betah menyaksikan film sampai akhir. Film ini setidaknya sejenak mengajak orang kembali memikirkan petani dan sistem pertanian di negeri ini. Syukur-syukur mampu menggedor kesadaran tentang pentingnya merawat dalam melalui sistem pertanian organik! (Aris Kurniawan)






