ORDE Baru atau dikenal juga sebagai Orba. Penulis menilai, ini adalah suatu tatanan pri kehidupan rakyat berbangsa dan bernegara yang diletakkan kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Orde Baru dimulai setelah munculnya peristiwa “Surat Perintah 11 Maret” atau dikenal sebagai Supersemar pada tahun 1996.
Peristiwa-peristiwa yang menyebabkan terbitnya Super Semar, yang kemudian ini menjadi jalan mulus pemerintahan Orde Baru, adalah pecahnya peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S)/PKI.
Situasi politik yang tidak stabil saat itu menuai kritik dari rakyat dan mahasiswa. Aksi unjuk rasa pun tidak terbendung. Ada tiga tuntutan rakyat, yang kemudian dikenal dengan Tritura: Pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora, dan turunkan harga kebutuhan pokok.
Krisis ekonomi yang terjadi kala itu telah menimbulkan krisis kepercayaan pula terhadap pemerintahan Presiden Sukarno.
Letnan Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), memiliki peran besar dalam mengendalikan keamanan. “Surat Perintah 11 Maret” atau Supersemar menjadi jurus Soeharto dalam mengendalikan keamanan dan ketertiban republik ini.
Sampai akhirnya, ketika kepercayaan rakyat terhadap Presiden Sukarno mulai redup, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang pada saat itu diketuai oleh A.H Nasution. Soeharto kemudian dilantik sebagai presiden secara resmi pada 27 Maret 1968.
Soeharto dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa.
Nah, bicara soal Soeharto ini memang menarik. Jenderal Besar Soeharto dijuluki “The Smiling General” di dunia internasional, terutama di Dunia Barat. “The Smiling General” bisa diartikan sebagai jenderal yang selalu tersenyum, atau murah senyum.
Meskipun dikenal dengan julukan “The Smiling General”, namun dalam sebuah artikel yang pernah terbit di BBC News Indonesia pada 22 Mei 2018, menulis tentang pernyataan Jose Ramos Horta, pemenang Nobel perdamaian dan mantan presiden Timor Leste, yang menyebutkan bahwa Suharto adalah seorang diktator. Pun demikian, menurutnya Soeharto adalah diktator dengan jenis yang berbeda.
“Suharto bukan tipikal diktator lama zaman dulu seperti Salazar di Portugal atau diktator negara-negara Amerika Latin,” kata Ramos Horta dalam tulisan itu.
Menurut Jose Ramos Horta, Suharto adalah diktator yang sukses mengantarkan Indonesia menjadi negara dengan perekonomian yang menjanjikan. Suharto lebih mirip diktator di Korea Selatan.
Meski banyak jatuh korban semasa pemerintahannya, tetapi Soeharto harus dilihat secara seimbang. Salah satu yang dicatat Ramos Horta adalah, pemerintahan Suharto mengirim begitu banyak mahasiswa untuk menimba ilmu di luar negeri. Diktator lain tidak akan mengirim para mahasiswanya ke luar negeri.
Ketika memegang tampuk kekuasaan meninggalkan Orde Lama dan masuk ke Orde Baru, Soeharto memiliki beberapa kebijakan, yang ini menjadi catatan sejarah sistem demokrasi dan pembangunan di republik ini.
Kebijakan Politik Orde Baru
Pemilu 1977 merupakan ajang pemilihan umum kedua rezim Orde Baru setelah sebelumnya dilakukan pada 1971 yang dimenangkan telak oleh Golkar, dan memantapkan posisi Soeharto sebagai presiden. Ada catatan sejarah penting dalam penyelenggaraan “pesta demokrasi” ini, yakni peleburan atau fusi partai politik (parpol) peserta pemilu.
Terdapat 9 parpol ditambah 1 organisasi masyarakat (Ormas), yakni Golkar, yang menjadi kontestan dalam Pemilu 1971. Dua tahun berselang, pada 1973, MPR mengeluarkan ketetapan tentang GBHN yang menegaskan mengenai perlunya pengelompokan organisasi peserta pemilu. Artinya, parpol-parpol yang dianggap “sejenis” akan difusikan. Dari 9 parpol tersebut dilebur menjadi tiga parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia.
Penyederhanaan atau penggabungan (fusi) partai pada tahun 1973 merupakan kebijakan Presiden Soeharto untuk menciptakan stabilitas politik kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebijakan ini dinggap menjadi syarat utama dalam mencapai pembangunan ekonomi Indonesia.
Kebijakan Ekonomi Orde Baru
Deregulasi sektor perbankan dan sektor riil menjadi salah salah satu kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru, Soeharto. Pada saat itu, pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada 1968. Kebijakan ini bertujuan untuk menarik investasi asing dan menggerakkan kembali sektor swasta.
Kebijakan ekspor. Pada di era Orde Baru, pemerintah meningkatkan kegiatan ekspor barang dengan membebaskan bea cukai dan melakukan devaluasi rupiah. Lalu, melakukan reintegrasi Indonesia ke dalam ekonomi dunia dengan bergabung kembali dengan IMF, PBB, dan Bank Dunia, yaitu sebagai upaya pemulihan ekonomi.
Kebijakan lain yang berkaitan dan perekonomian masyarakat adalah program transmigrasi. Tujuannya adalah untuk meratakan pembangunan dan mengurangi kepadatan penduduk di Jawa.
Program lain yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru dalam menunjang perekonomian adalah pembangunan infrastruktur besar, dan swasembada pangan.
Kebijakan-kebijakan itu memiliki dampak positif, seperti pertumbuhan ekonomi yang signifikan, stabilitas ekonomi, dan peningkatan cadangan devisa. Politik dan keamanan juga menjadi lebih stabil.
Pun demikian, kebijakan itu tak luput dari kritik, terutama pada saat-saat akhir pemerintahan Orde baru. Selama 32 tahun memimpin Indonesia, Soeharto dianggap telah menciptakan ketimpangan ekonomi dan korupsi sistemik.
Sistem politik terpusat, yaitu sebuah sistem pemerintahan, dimana sistemnya masih menggunakan sistem presidensial. Artinya, segala keputusan eksekutif berada di tangan presiden. Sehingga kekuasaan Presiden Soeharto saat itu sangatlah kuat dan besar, terutama pada keputusan mengenai politik. Segala hal yang berkaitan dengan keputusan kebijakan politik maupun kebijakan penting lainnya harus mendapatkan persetujuannya.
Pada masa orde baru sistem ini diterapkan, dan UUD 1945 sebagai dasar konstitusional yang berlaku. Orde baru juga menerapkan sistem pemerintahan sentralisasi, yaitu sebuah sistem dimana pemerintah pusat sangat berperan penting dan dominan dalam menentukan sebuah kebijakan yang wajib ditaati kepada pemerintah daerah.
Sistem politik terpusat memiliki beberapa ciri yakni kekuasaan presiden yang kuat, dominasi partai Golkar, birokrasi yang kuat, pemusatan kekuasaan di pusat, dan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tentu saja, dengan sistem politik terpusat segala hal yang mencakup keputusan pemerintahan harus disetujui oleh pemerintah pusat yang berwenang. Maka dari itu, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang sangat terbatas akan segala keputusan mengenai politik di daerahnya. Sebab, segala keputusan haruslah disetujui oleh pihak dan sistem politik terpusat terlebih dahulu.
Akan tetapi menurut pandangan penulis, sistem politik pada saat masa Orde Baru menghasilkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pesat, tetapi juga membahayakan kebebasan politik, pengawasan pemerintah, dan pertahanan kekuasaan.
Setelah Orde Baru runtuh pada tahun 1998, banyak orang menganggap stabilitas yang tercipta pada masa itu lebih penting daripada kebebasan politik dan keadilan sosial untuk kemajuan.
Singkatnya, sistem politik Orde Baru cenderung berfokus pada figur seorang presiden, yang memiliki kontrol yang kuat atas lembaga negara, media, dan organisasi sosial. Meskipun kemajuan ekonomi terjadi selama periode ini, sistem yang otoriter menimbulkan kecemasan terhadap oposisi, kebebasan politik yang independen, dan merendahkan kekuasaan.
Penulis:
Nayla Septia Ramadhani
Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang