Jejak KataSoft News

Kampung Jalawastu, Badui-nya Jawa Tengah yang Menolak Rumah Tembok

×

Kampung Jalawastu, Badui-nya Jawa Tengah yang Menolak Rumah Tembok

Sebarkan artikel ini
Istimewa

SETIAP etnik di Indonesia punya wilayah asalnya sendiri. Sebutlah misalnya etnik Jawa dan Sunda. Kedua etnik ini berada Pulau Jawa. Yang pertama terkonsentrasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan yang kedua menghuni Jawa Barat.

Kedua etnik ini memiliki adat istiadat dan budaya yang berbeda, terutama bahasa. Etnik Jawa menggunakan bahasa Jawa, demikian halnya etnik Sunda yang sehari-hari menggunakan bahasa Sunda. Karena itu menjadi sangat unik ketika kita mendapati sebuah kampung di Jawa Tengah yang seluruh masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda dalam percakapan sehari-hari mereka.

Kampung itu bernama Jalawastu yang berada di Desa Ciseureuh, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Sebagaimana etnik Badui di Banten, masyarakat Kampung Jalawastu juga memiliki tradisi unik. Antara lain mereka hingga saat ini menjalankan tradisi tahunan yang dikenal dengan Upacara Adat Ngasa. Karena keunikan tersebut, pada Oktober 2019, sebagaimana dilansir jatengprov.go.id, Jalawastu ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

Penetapan WBTB yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional RI tersebut mendorong Kampung Jalawastu untuk mengembangkan kampung budaya ini untuk mempertahankan adat istiadat.

Istimewa

Kampung Adat Jalawastu berada di kaki Gunung Kumbang atau Gunung Sagara, yang merupakan wilayah yang dulunya bagian dari Kerajaan Sunda. Karena itu masyarakat di Jalawastu juga masih mempertahankan tradisi Sunda Wiwitan, yang merupakan tradisi leluhur Sunda yang masih sangat kuat.

Kebijaksanaan Menolak Bangunan Tembok

Masyarakat Kampung Jalawastu memegang teguh sejumlah pantangan fisik, seperti membangun rumah dengan semen atau keramik. Alhasil rumah-rumah penduduk di Kampung Jalawastu terbuat dari kayu dan berbentuk rumah panggung, seperti terlihat dalam tayangan Channel YouTube Tedhong Telu.

Hingga saat ini Kampung Jalawastu dihuni oleh sekitar 350 jiwa dan 120 keluarga. Mereka menghuni rumah-rumah panggung beratap seng. Di balik adat ini tersimpan kebijaksanaan dalam memperlakukan alam. Membangun rumah tanpa menggunakan semen dan keramik secara alamiah bisa mencegah terjadinya bencana longsor. Karena pohon-pohon dibiarkan tumbuh dan menjaga alam lestari.

Pantangan lainnya pementasan wayang, memelihara angsa, domba, atau kerbau, serta menanam bawang merah. Jadi masyarakat bila ingin mendapatkan komoditas tersebut, masyarakat Kampung Jalawastu harus mencarinya di tempat lain, di luar kamping mereka.

Kampung Jalawastu terpisah dari permukiman penduduk lain. Untuk mencapai kampung ini pengunjung harus melewati perbukitan yang jauh dari keramaian.

Istimewa

Menurut tetua di kampung Jalawastu, leluhur orang Kampung Jalawatu berasal dari Sunda Wiwitan. Selain menjaga tradisi ‘sedekah ngasa’ yang digelar sekali setahun, pada bulan Maret, hari Senin Wage dan Selasa Kliwon, Masyarakat Kampung Jalawastu juga tradisi ritual musim kemarau, yaitu menyiram kepala desa atau memandikan kepala desa yang dilakukan oleh banyak orang. Ada lagi tradisi ngadengdong yang dilakukan setahun sekali.

Makanan pokok yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari ialah mengandalkan hasil tani dan ikan. Untuk pekerjaan penduduk di Jalawastu kebanyakan bekerja sebagai petani dengan bercocok tanam. Hasilnya adalah jagung dan padi. Hasil bumi tersebut akan dijual di Pasar Ketanggungan.

Sedangkan bahasa yang digunakan kampung adat Jalawastu adalah sunda. Sementara berbeda dengan suku Badui di Banten, masyarakat Jalawastu menganut agama Islam. Wijanarto, Sejarawan Brebes, menyebut bahwa percampuran agama Islam dengan nenek moyang di kampung Jalawastu bisa dilihat dari bentuk perang centong dan sendok nasi berbahan kayu.

Perang Centong ini, kata Wijanarto, adalah simbol perang antara Gandasari dan Gandawangi atau keyakinan lama dan keyakinan baru. Dalam perang ini keyakinan baru menang, tapi tetap menjunjung keyakinan lama. Ini menggambarkan akulturasi antara Islam dan Hindu dan Budha.

Menurut Singgih, Kepala Dusun Kampung Jalawastu, masyarakat Kampung Jalawastu menerima agama Islam tanpa mencampakan adat tradisi leluhur. “Menurut cerita leluhur, dulu ada dua tokoh di Jalawastu, yaitu Ki Gandasari dan Ki Gandawangi. Keduanya berselisih, yang satu hanya ingin berpegang teguh kepada keyakinan Sunda Wiwitan, yang lainnya mau menerima Islam. Akhirnya disepakati menerima Islam namun tetap menjalankan adat Sunda Wiwitan,” kata Singgih. (Aris Kurniawan/dari berbagai sumber)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *