EsaiJejak Kata

Krisis Wakil Rakyat dan Ketika Representasi Politik Tak Lagi Sama

×

Krisis Wakil Rakyat dan Ketika Representasi Politik Tak Lagi Sama

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI

DI atas panggung demokrasi, seharusnya rakyat menjadi aktor utama dengan memerankan peran, mengarahkan alur, dan memegang kendali penuh atas jalannya pertunjukan kekuasaan. Namun kini, panggung itu dipenuhi oleh segelintir orang yang haus kuasa, menyusup ke balik tirai, bersembunyi di balik dialog-dialog indah yang mengacaukan kesadaran publik.

Ketika Representasi Politik Tidak Hadir sebagai Speaking For dan Speaking About

Dunia politik memiliki panggung yang menjadi ajang rebutan elite politik melalui jargon politik dan kekuasaan, mereka memiliki keistimewaan untuk berbicara dan mewakili kepentingan masyarakat dengan representasi politik. Menurut teori representasi esensi keterwakilan, yaitu speaking for berbicara untuk dan speaking about berbicara tentang masyarakat, makna nya wakil rakyat seharusnya menjadi tokoh yang mewakili aspirasi masyarakat. Namun, sering ditemukan bahwa wakil rakyat hanya sebagai simbolik kekuasaan yang berbicara untuk mementingkan keinginan elite politik, yaitu oligarki sehingga mereka mulai tidak mencerminkan keinginan rakyat.

Memaknai 3 Wajah Representasi: Deskripsif, Simbolik, dan Substansif

Teori representasi menekankan bahwa representasi bukan hanya sekadar kehadiran legalitas semata, melainkan tindakan aktif dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Teori representasi memiliki tiga aspek yang merupakan bentuk keterwakilan dari sistem demokrasi, yaitu deskripsif, simbolik, dan substansif.

1. Representasi Deskripsif

Bentuk dari perwakilan yang memiliki dasar kesamaan. Dalam dunia politik bentuk dari representasi deskripsif terletak pada kesamaan geopolitik yang memiliki kesamaan identitas, kebudayaan, wilayah hukum adat dan budaya. Sebagai contoh perwakilan wanita sebesar 50 persen di lembaga legislatif.

2. Representasi Simbolik

Bentuk dari keterwakilan dari simbolik sosio-culture di masyarakat dimana sesuatu memiliki ciri khas tertentu yang mencolok dan menciptakan keberagaman. Sebagai contoh, bentuk anggota legislatif minoritas memiliki tempat di legislatif sebagai bentuk keterwakilan dari agama nya.

3. Representasi Subtansif

Bentuk keterwakilan yang paling penting namun sering diabaikan, representasi subtansif memandang kepentingan rakyat di atas golongan tertentu, akan tetapi praktik nya oligarki membuat jalur ini menjadi sempit dan tidak dapat diakses oleh masyarakat, sebab para wakil rakyat akan lebih fokus kepada loyalitas yang diberikan pemodal daripada memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Hilangnya Suara Rakyat dan Mandat yang Terabaikan

Krisis representasi yang sedang atau sudah terjadi bukan sekadar tentang siapa yang duduk di parlemen, namun lebih dari itu memaknai duduk di parlemen berati mampu untuk mendengarkan suara dan mementingkan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Ketika suara rakyat sudah tertindih oleh seseorang yang memiliki jaringan kekuasaan, dan wakil rakyat sudah tidak mencerminkan kepentingan rakyat, maka istilah demokrasi hanya simbolik tak bermakna, sebuah sistem prosedural yang kehilangan subtansialnya.
Bagaimana mengembalikan Representasi Politik?

Perebutan representasi politik dari cengkeraman oligarki bukan sesuatu yang mudah dan sepele, namun bukan juga hal yang mustahil. Strategi untuk merebut kembali kedaulatan rakyat dalam politik harus dimulai dari reformasi partai politik. Partai tidak boleh lagi menjadi alat berupa kendaraan untuk memiliki kekuasaan, melainkan harus kembali ke jati dirinya sebagai institusi publik yang merekrut, mendidik, dan mewakili rakyat secara transparansi, dan akuntabilitas.

Di sisi lain, penguatan masyarakat sipil sangat diperlukan sebagai kekuatan penyeimbang antara pemerintah dan rakyat. Masyarakat perlu didorong untuk aktif, kritis, dan terorganisir dalam mengawal kebijakan dan mengontrol wakil-wakil yang duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif. Selain itu, pendidikan politik harus ditanamkan sejak dini, agar warga tidak hanya menjadi pemilih yang pasif, tapi menjadi subjek politik yang sadar akan hak, peran, dan kekuatannya.

Semua upaya ini harus diarahkan untuk mendorong lahirnya representasi substantif yakni wakil-wakil yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat melalui kebijakan dan tindakan nyata, bukan sekadar tampil karena kesamaan identitas (deskriptif) atau simbol-simbol kultural yang dangkal (simbolik).

Krisis wakil rakyat yang saat ini terjadi di Indonesia mencerminkan ketidakmampuan wakil rakyat mendengarkan aspirasi. Fungsi utama dari wakil rakyat adalah menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi melalui kebijakan yang berpihak. Sebaliknya keputusan politik yang sering diambil dengan tidak mencerminkan kehendak rakyat sehingga representasi politik yang ideal kehilangan maknanya.


Penulis: Indah Amelia Putri
Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *