Liputan

Menjaga Kearifan Lokal Malam Satu Suro di Cirebon

×

Menjaga Kearifan Lokal Malam Satu Suro di Cirebon

Sebarkan artikel ini
Tradisi Malam Satu Suro di Cirebon-Jawa Barat

JEJAK KATA, Cirebon – Husein (34) hampir setiap tahun merayakan Malam Satu Suro. Bersama seorang temannya dari wilayah Cirebon timur, pemuda lajang itu datang ke Keraton Kacirebonan. Dia bergabung dengan ratusan orang dari berbagai penjuru Cirebon dan kota-kota sekitarnya memadati kompleks keraton untuk menyaksikan prosesi tradisi penuh khidmat. Keraton Kacirebonan berada tak jauh Alun-alun terbuka di Jalan Pulasaren, Kecamatan Pekalipan, Cirebon.

Masyarakat tumpah mulai dari alun-alun, sebagai area pertama kompleks keraton yang bewarna hijau, lalu ke Gapura Agung atau Lawang Agung dengan ukiran bahasa Mataram Kuno bermakna Sultan Carbon Kerajaan Kacirebonan.

Tradisi perayaan Malam Satu Suro yang digelar di Keraton Kacirebonan mulai dari tumpengan, Adzan Pitu, pawai obor (kirab agung), hingga pertunjukan wayang kulit berusia 500 tahun yang penuh dengan atmosfer mistis.

“Saya memperingati Malam Satu Suro meneruskan tradisi orangtua saya. Mungkin agak aneh dan kuno bagi orang lain, tapi bagi saya seru, saya menyukainya,” katanya, jelang perayaan Malam Satu Suro 2025.

Malam Satu Suro atau dalam kalender Islam 1 Muharam diperingati sebagai malam suci yang penuh kesakralan dan spiritual. Karena inilah malam pergantian tahun. Dalam kalender Jawa Malam Satu Suro dirayakan dengan laku tirakat karena dianggap sebagai momen yang tepat untuk retrospeksi.

Begitu juga di Cirebon, Malam Satu Suro diperingati dengan menggelar berbagai acara yang meriah sekaligus penuh khidmat. Keraton Kacirebonan merayakannya dengan berbagai tradisi dan ritual, termasuk pembacaan Babad Cirebon, ziarah ke makam Sunan Gunung Jati, dan kirab budaya.

Bukan hanya Keraton Kacirebonan, keraton-keraton di Cirebon, seperti Keraton Kanoman dan Keraton Kasepuhan pun menggelar perayaan, seperti pembacaan naskah kuno Babad Cirebon yang berisi sejarah dan silsilah kerajaan. Pembacaan Babad Cirebon dilakukan bukan sekadar dengan tujuan mengenang kejayaan masa lalu, tapi juga melihat jejak perjalanan sejarah untuk bercermin agar dapat melangkah ke masa depan.

Setelah pembacaan Babad Cirebon, masyarakat melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati di Gunung Jati, Cirebon, untuk memanjatkan doa dan memohon berkah. Kemudain dilanjut dengan kirab budaya, antara lain arak-arakan dengan membawa pusaka atau benda-benda kramat bersejarah lainnya.

Malam Satu Suro juga dianggap sebagai waktu yang tepat untuk melakukan tirakatan (bertapa dan berdoa), serta introspeksi diri untuk memulai tahun baru dengan harapan dan tekad yang baru.

Masih dalam rangkaian perayaan Malam Satu Suro, Keraton Kasepuhan dan Kanoman menghadirkan wayang kulit berusia 500 tahun. Pada masa lalu wayang ini jadi sarana dakwah, mengenalkan agama Islam melalui tradisi dan seni untuk menyentuh hati masyarakat.

Wayang kulit dimandikan bersama peralatan gamelan milik keraton yang diadakan di malam Jumat kliwon. Seperti masyarakat lainnya, Husein juga menantikan tradisi mengelilingi keraton. Masyarakat bersama para abdi dalem keraton melakukan tradisi mengelilingi keraton sembari mengarak makanan tumpeng beserta lauk pauknya. Peserta wajib memenuhi persyaratan untuk mengikuti tradisi ini, yaitu menggunakan pakaian adat atau rapi dan sopan, tidak merokok di bangsal keraton dan menyukseskan acara secara khidmat serta santun. (Aris Kurniawan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *