Wisata dan Kuliner

Prinsip Dagang “Soto Goceng” yang Cerdik dan Tidak Pelit Bumbu

×

Prinsip Dagang “Soto Goceng” yang Cerdik dan Tidak Pelit Bumbu

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI SOTO GOCENG | ISTIMEWA

SEGALA varian soto, itu saya suka, dan menjadi kudapan favorit sejak kecil. Masih ingat ketika hidup di pelosok desa yang kala itu masyarakatnya tanpa listrik. Seorang pedagang soto legendaris pada zamannya di desa itu, namanya Lek Yusro dan isterinya dipanggil Teteh.

Suami isteri ini adalah orang yang pertama kali mengenalkan kuliner soto, yang kala itu usia saya masih sekitar lima tahunan. Sotonya lezat, bumbu kuahnya nendang dan enggak pelit bumbu. Soto pasangan Lek Yusro dan Teteh ini, tiada duanya!

Soto yang tidak kalah legendaris kala itu adalah soto Mbah Jumatun dari desa sebelah. Suatu ketika, saat usai gajian, Bapak mengajak saya menyantap soto Mbah Jumatun sepulang potong rambut. Rasanya, “Mak Jleb” tidak kalah nendang dari soto pasangan Lek Yusro-Teteh.

Nah, bicara soal soto, apapun itu: soto Banyumas, Kudus, Solo, Lamongan, Betawi atau pun Bogor, kelezatannya ada pada kuah dan khas rempahnya. Susut bumbu, kelezatan soto ini tidak sekadar hambar, tapi rasanya pasti tidak karu-karuan jauh dari kelezatan yang namanya soto.

Di zaman sekarang ini, tidak semua penjual pandai membuat kuah soto yang enak. Entah antara tidak pandai atau sengaja menurunkan kualitasnya demi meraup cuan sebesar-besarnya. Karena, tidak dipungkiri, kuah yang enak memerlukan bahan-bahan berkualitas dan proses yang tidak instan. Semua itu perlu biaya dan waktu lebih. Apabila “diakali” tentu bisa mempertebal margin keuntungan penjual. Betul apa betul?!

Di Tengah krisis bumbu rempah asli dan merebaknya bumbu instan saya masih menemukan pedagang soto yang kuah rempahnya masih sekomplit soto pasangan Lek Yusro-Tetah dan Mbah Jumatun. Lokasinya ada di depan Masjid Al Amjad Puspemkab Tangerang-Tigaraksa. Kedai soto ini namanya “Soto Goceng”. Sesuai dengan namanya, soto goceng ini harga per-porsi goceng alias lima ribu rupiah saja. Sayang, Soto Goceng ini buka hanya pada saat weekend dan tanggal merah saja, selebihnya tutup.

Saya pernah berpikir, dari mana keuntungannya, jual soto kok hanya lima ribu perporsi, plus nasi pula. Padahal bumbu rempah senonjok itu biayanya tidak sedikit, belum lagi cabe, kecap, nasi serta campuran lainnya. Terlebih-lebih Soto Goceng ini menggunakan daging sapi dan ayam, yang itu semua didapat dari belanja dan harganya tidak murah.

Namun saya berpikir dengan rasionalitas dan prasangka baik, kenapa sang pedagang berani menjual sotonya semurah itu. Sampai akhirnya menemukan jawaban bahwa di balik soto daging dan ayam seporsi plus nasi goceng ini bagian dari manajemen dagang untuk menarik pembeli. Ketika banyak pedagang soto menjual harga mahal dengan kuah seadanya dan menjadikan gorengan tempe sebagai pelengkap, Soto Goceng ini justru sebaliknya.

Kalau pedagang lain yang menjual sotonya lebih mahal konsumennya makan seporsi hanya dengan satu atau dua gorengan, di Soto Goceng pelanggan bisa makan lebih dari satu porsi dengan gorengan lebih dari dua atau tiga. Sedangkan harga gorengan sama dengan gorengan pada umumnya.

Jadi, pedagang Soto Goceng ini menganut prinsip dagang yang mengedepankan kualitas dan kuantitas dengan harga sesuai kebutuhan pelanggan. Sehingga bumbu tidak lagi menjadi masalah. (*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *