BERADA di salah satu kompleks perumahan di wilayah Panongan, Kabupaten Tangerang. Setiap pagi, selepas subuh, tempat ini selalu ramai oleh warga yang mencari menu ganjel sarapan, pisang goreng.
Ya, pisang goreng Bu Dedi. Disebut pisang goreng Bu Dedi karena wanita paruh baya penjual pisang goreng ini menikah dan menjadi isteri Pak Dedi. Sehingga warga lebih mengenal nama suaminya ketimbang nama isterinya.
Ada yang menarik ketika mencermati fenomena pagi di warung pisang goreng Bu Dedi. Bagi saya, cerita ini sangat menarik untuk saya bagikan kepada orang lain sebagai bahan perenungan, dan introspeksi diri. Atau, paling tidak sekadar hiburan menyimak cerita wong cilik dalam kesibukan warga kompleks yang memiliki keberagaman budaya serta cara pandang yang penuh warna.
Hampir setiap pagi isteri saya bersama si bungsu datang ke waung pisang goreng Bu Dedi ini. Karena memang, ndoro kakung (begitulah saya menyebut si bunggsu) hobi sekali makan pisang goreng Bu Dedi ini. Dan, dari sekian banyak tempat yang pernah saya kenalkan tentang perpisang gorengan, hanya pisang goreng buatan Bu Dedi lah yang nyantol di lidah ndoro kakung. Beberapa hari enggak sarapan pisang goreng Bu Dedi, sepertinya ada sesuatu yang belum lengkap.
Singkat cerita, pada suatu pagi sambil ke warung beli bayam dan ikan laut untuk makan siang hari ini, mampir lah isteri saya bersama ndoro kakung di tempat biasa pagi hari, warung pisang goreng Bu Dedi.
Sesampai di rumah, bercerita lah isteri saya tentang antrean di warung pisang goreng Bu Dedi itu.
“Wah, nganterinya panjang banget, sampai capek berdirinya, pegel,” kata isteri saya menceritakan pengalamannya pagi itu.
Wajar, memang. Pisang goreng Bu Dedi ini beda dengan pisang goreng lainnya. Selain marem karena bentuknya yang cukup besar, olahan tepung yang membalut buah bulat lonjong nan manis itu lebih buket dan wangi.
“Kalau di Bu Dedi ini enggak bisa kita pesen dulu terus ditinggal pergi. Pokoknya kalau kita pesen enggak ditungguin, ya dikasih sama yang nganteri di situ,” tambah isteri saya.
Saya hanya menimpali dengan kalimat, “Bagus lah! Siapa cepat dan mau kerja keras dia yang dapat.”
Saya menilai, sikap Bu Dedi adalah sikap yang mengajarkan orang lain untuk tidak malas, dan menjaga sportivitas dalam budaya ngantre. Tidak melayani orang-orang yang malas dan hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa melihat bagaimana orang lain berjuang serta bersusah payah. Karena, mengantre adalah sesuatu yang sangat menjenuhkan dan butuh kesabaran tingkat tinggi.