Jejak KataSeni dan Hiburan

Cerita Pendek: Sawilem, Gelunge Pok-empokan

×

Cerita Pendek: Sawilem, Gelunge Pok-empokan

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI

Tak satupun yang tahu, siapa sebenarnya perempuan ini? Utusan dari langit, atau danyang penguasa dari Pekuncen yang menjelma menyerupai manusia, dan menjaga seisi desa? Setiap hari muncul mengitari desa. Datang tak diundang, pergi pun tak pernah diantar. Kehadirannya sejak puluhan tahun yang lalu juga selalu saja dalam waktu yang sama.

SEOLAH sudah menjadi kewajiban yang harus dijalankan—tak pernah absen—begitu matahari terbit, kakinya langsung menapakai jalanan desa. Berputar; dari Desa Ciparuk, ke Ciduda, lalu memutar ke arah kecamatan, pasar, dan terus berjalan sepanjang gang. Seperti ada yang menggembalakan pula, ketika matahari menyusup ke bibir malam, ia kembali ke tempatnya, di seberang sebelah utara liukan Kali Tajum.

Orang-orang memanggilnya Sawilem. Ya, cukup Sawilem. Tanpa embel-embel mbok, mbah, nenek, atau nini.

Saat itu usianya sudah hampir memasuki setengah abad. Kulitnya sudah mulai mengeriput, rambutnya menguban—digelung tanpa konde—hanya seadanya dililitkan melingkar di kepala. Tak pernah rapi, berantakan, dan acak-acakan. Maklum, seumur hidupnya tak pernah mengenal shampo, apalagi creambat. Seperti yang terlihat; berketombe dan kutu juga senang serta betah bersarang di rambutnya. Coba saja perhatikan, setiap kali berjalan tangannya tak pernah diam menggaruk-garuk ketombe, dan kutu di kepalanya.

Lalu;
”Sawilem, gelunge pok-empokan…”
”Sawilem, gelunge pok-empokan..”
”Sawilem, gelunge pok-empokan..”

Pekik suara mulut bocah-bocah jail yang bergerombol selalu dilontarkan ke arah perempuan itu. Seperti sebuah warisan, umpatan ini juga sudah turun-temurun dari generasi sebelumnya. Dari orang tua mereka masih kanak-kanak, sampai usia perempuan ini sama dengan nenek-nenek mereka.

Langkahnya terhenti. Tangan yang tak pernah diam menggaruk ketombe dan kutu di kepalanya juga diam. Melotot berbalik ke arah suara. Bocah-bocah usil itu pun langsung berhamburan, mencari tempat persembunyian. Perempuan itu tak banyak reaksi, menampik, apalagi membalas. Lalu, membalikkan tubuhnya kembali meneruskan gerik tangannya, menapaki jalanan mengitari desa.

*

Sore; azan asar dikumandangkan Mu’azin, sengaja digeber lewat pengeras suara. Gema penggilanpun langsung menyebar ke seluruh penjuru desa. Sebagian orang berbondong ke mushola, sebagian lagi hanya diam—menghentikan sejenak aktifitasnya. Jalanan sepi.

Dari arah pasar Sawilem berjalan melintasi perempatan arah Desa Ciparuk. Namun, ia tidak lagi berbelok ke desa itu. Ia berjalan lurus ke arah barat.
Masih seperti hari kemarin, kemarinnya, dan kemarinnya lagi. Tak ada yang dihasilkan dari perjalanannya, kecuali umpatan-umpatan dari mulut wajah-wajah kecil yang tak pernah diam, jahil setiap kali melihatnya.

Kehadirannya di desa ini tidaklah merepotkan semua orang—tak pula mengusik ketenteraman desa. Namun, seolah ia menjadi seseorang yang bersalah dan pantas untuk diperolok-olok. Umpatan tentang dirinya juga seolah menjadi seperti penghakiman.

”Sawilem, gelunge pok-empokan..”
”Sawilem, gelunge pok-empokan..”
”Sawilem, gelunge pok-empokan..”

Di depan bekas pabrik jamu tradisional ilegal yang telah disegel Sawilem berhenti. Berdiri, diam seperti patung. Tubuhnya menghadap ke utara. Tangannya masih terus menggaruk-garik ketombe dan kutu di kepala. Matanya menerobos rimbunan pohon-pohon bambu yang merumpun dan berjajar di atas lembah, di dekat Kali Tajum. Matanya menangkap bangunan rumah kecil menyerupai rumah kuburan. Ya, bangunan yang berdiri di bawah pohon mahoni. Pohon yang paling tinggi dan besar di antara pohon-pohon di sekitar rumpunan bambu. Di sampingnya terdapat sebuah sumur dengan kamar mandi yang tidak beratap, hanya dikelilingi oleh batu-batu bata yang dibaluri semen. Orang-orang menyebutnya sumur pewarasan. Rumah kecil menyerupai rumah kuburan itu adalah tempat bersemedi, atau ritual mengharap sesuatu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *