KOTA ini menjadi kota paling ‘bedebah’ bagi Qiaz. Kota Seribu Pabrik yang begitu menyakitkan. Kota yang telah melumat semua harapannya. Bukan saja karena pria brengsek dan beristeri yang telah memainkan perasaannya, tapi begitu banyak pria yang hanya menginginkan kenikmatan tubuhnya saja.
Pria ‘seberang’ yang pertama kali merenggut keperawanannya misalnya. Ia hilang entah kemana setelah bosan berkali-kali menidurinya.
Lalu, laki-laki berbeda keyakinan yang juga telah seringkali menikmati tubuhnya tanpa mau menikahi lantaran cintanya kalah dengan sikap bapak-ibunya yang tak menginginkan Ia keluar dari lingakaran keluarga.
Belum lagi pria-pria ‘begajulan’ yang kerap ditemuinya di akun media sosial yang memberikan fasilitas kepada siapa pun untuk bisa melakukan apa pun. Rata-rata hanya penjahat birahi.
“Brengsek! Semua Brengsek!”
Surabaya, ya Surabaya. Metropolitan di sebalah Timur Pulau Jawa. Kota yang memiliki legenda perkelahian antara Sura dan Buaya. Kota yang, cukup Sura saja yang dilahap oleh Buaya, tidak perempuan-perempuan seperti dirinya yang menjadi korban ‘para buaya’.
Kota ini menjadi pilihannya untuk melabuhkan hati dan kehidupannya yang baru. Di kota ini pula, Qiaz bertemu dengan pria keturunan Arab-Madura berperawakan besar, berotot sekal, bos pabrik rokok lokal, bujang lapuk, pandai mengaji nan kaya raya. Pria ini yang menjadi pelabuhan terakhir dalam hatinya.